Sunday, 5 May 2013

Meriam Bonjol


Meriam Bonjol
 Oleh: Dodi Chandra


Foto: Meriam Bonjol (Koleksi Pribadi: 2013)


Situs Meriam Bonjol terletak lebih kurang 150 m dari jalan Pasar Ganggo Hilir, arah utara. Dari pertulisan yang tercantum pada meriam diketahui bahwa meriam tersebut berasal dari Portugis dan dibuat sekitar tahun 1700-an.
 Kondisi meriam saat ini sebagian terkubur dalam tanah. Yang tampak di permukaan adalah bagian moncongnya serta beberapa buah proyektil. Meriam yang tampak di permukaan memiliki panjang sekitar 50 cm dengan lubang meriam berdiameter 11 cm.
Menurut informasi dari Bapak Ali Usman, informan di daerah Bonjol mengatakan bahwa dalam keadaan utuh meriam tersebut memiliki ukuran panjang antara 1 – 1,5 m, dilengkapi roda.
Proyektil berjumlah 14 buah berdiameter 9 cm, 10 cm, 13 cm, dan 14 cm. Tiga buah proyektil yang berukuran 13 cm dan sebuah yang berukuran 14 cm bukan merupakan proyektil dari meriam tersebut. Pada proyektil ini terdapat lubang tempat mengisi mesiu yang akan meledak bila membentur sasaran. Proyektil ini memiliki pelontar khusus yang berukuran lebih besar. Selain meriam terdapat kayu yang dipergunakan untuk mencampur mesiu. 
Menurut informasi dari Pak Ali Usman, lokasi meriam semula berada di Benteng Bukit Takjadi, namun untuk melindungi meriam kemudian meriam dipindahkan di dekat Pasar Ganggo Hilir. Dengan perpindahan lokasi tersebut, meriam ditempatkan pada sebuah bangunan atau cungkup yang dibangun oleh masyarakat sekitar. Selain untuk menjaga benda budaya, masyarakat juga menganggap meriam tersebut sebagai benda keramat, sehingga perlu dilindungi.



Rumah Gadang Ukiran Cino, Payakumbuh, 50 Kota


Rumah Gadang Ukiran Cino, Payakumbuh, Kab.  50 Kota (Deskripsi)
Oleh: Dodi Chandra

 
 
Foto: Rumah Gadang Ukiran Cino (sumber: budparpora.limapuluhkota.go.id)

Rumah Gadang Ukiran Cina ini merupakan rumah gadang yang unik. Keunikan tersebut, terlihat pada ukiran yang dipahatkan  berupa ukiran Cina, ukiran yang tak lazim di rumah gadang di Sumatera Barat. Rumah Gadang  Ukiran Cino berlokasi di Jorong Batu Nan Limo, Nagari Simalanggang, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten 50 Kota.
Rumah Gadang ini dibangun sekitar akhir tahun 1890-an oleh Leman gelar Leman Kayo dengan menggunakan tukang atau pekerja yang berasal dari daerah Cina (Macau). Hal ini menarik di sini adalah kenapa Leman Kayo harus memperkerjakan orang Cina?. Kemungkinan yang pasti adalah Leman Kayo bisa jadi merupakan orang yang kaya di wilayah Simalanggang pada waktu, sehingga dengan kekayaanya itu ia berupaya untuk membagun rumah gadang dengan pekerajaan yang didatangkan dari Cina serta sentuhan ornament/hiasan khas negeri Cina yang dibawa oleh para pekerja. Selain sebagai tempat tinggal keturunan Leman, bangunan ini juga dipakai sebagai kediaman Tuanku Lareh Simalanggang.
 Rumah gadang Ukiran Cino secara arsitektural merupakan percampuran antara arsitektur Minangkabau, Kolonial dan Cina. Secara fisik, Rumah Gadang ini memiliki ukuran panjang 18 meter dan lebar 8 meter dengan atap bergonjong 6 dari seng. Atap ini masih merupakan atap sewaktu pembuataanya. Pada pembangunan awal kedua di sisi kiri dibongkar, yang dijadikan dapur dan ruang makan. Tangga naik awalnya persis tepat ditenga bangunan, namun sewaktu pembongkaran anjung sisi kiri tangga juga dibongkar dan disatukan dengan bangunan baru pada sisi timur.
Dinding dari bangunan ini, terbuat dari tembok bata. Sebagian besar dinding terdapat ukiran motif Cina berupa binatang dan tumbuhan dengan jendela sebanyak 14 buah yang terdapat pada bagian depan, samping kanan, dan belakang. Semua jendela diberik terali besi. Bagian sis bawah dinding terdapat lobang yang juga memiliki terali besi.


Foto: Ukiran Cino pada dinding Rumah Gadang Ukiran Cino (sumber: budparpora.limapuluhkota.go.id.)

Rumah gadang  Ukiran Cina memiliki ruang sebanyak 6 ruang (1 ruang yang merupakan anjungan. Penyangga atau tonggak dari rumah gadang berjumlah 10 buah. Namun, akibat gempa bumi yang terjadi tahun 2007, sebanyak 4 tonggak tidak bisa dipakai lagi dan diganti dengan tonggak beton. Lantai rumah gadang ini memiliki tingkatan pada bagian anjungan serta memiliki loteng. Selain itu, juga terdapat penambahan bangunan baru berupa teras pada tangga naik.
Pemilik rumah gadang ini juga menyimpan koleksi berupa kain, keramik, meja, tempat tidur yang seusia dengan rumah gadang tersebut. Salah satu koleksi berupa kain sutra dan terdapat tulisan “slamat pakai 15 Maart 1902”.
Saat ini, rumah gadang masih terjaga dengan baik.  Rumah gadang ini masih digunakan sebagai fungsi aslinya (living monument) sebagai tempat tinggal dari keturunan Leman

Friday, 3 May 2013

Mesjid Rao-Rao


Mesjid Rao-Rao Batusangkar
Oleh: Dodi Chandra



Foto: Mesjid Rao-Rao (sumber: bjn.wikipedia.org)

Kebudayaan adalah suatu hal yang universal. Dalam sebuah kebudayaan terdapat beberapa unsur yang membentuk kebudayaan, diantaranya: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kesenian. Begitu juga dengan kebudayaan Islam, memiliki unsur pembentuk yang sama karena unsur kebudayaan di atas bersifat universal atau menyeluruh. Namun, disini kita lebih fokus pada kesenian, yaitu seni bangunan.                      
Seni bangunan Islam yang sangat menonjol adalah mesjid. Mesjid-mesjid kuno di Indonesia memiliki ciri khas corak yang sangat berbeda dengan negara lain. Kekhasan corak ini mungkin disebabkan faktor keuniversalan yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadist yang tidak memiliki ketentuan yang jelas dalam membangun mesjid. Namun, ketentuan yang ada hanyalah arah mesjid harus mengahadap kiblat.                                                                               Mesjid secara bahasa berasal dari bahasa Arab “sajada” yang berarti tempat sujud atau dengan kata lain tempat orang sholat menurut aturan Islam. Ajaran Islam pada dasarnya tidak menentukan kriteria-kriteria khusus dalam pendirian mesjid. Mesjid-mesjid kuno di Indonesia mempunyai  ciri-ciri, yaitu berdenah segiempat, mempunyai atap bertingkat, ditunjang oleh 4 buah tiang, mempunyai mihrab serta mimbar. Pada beberapa mesjid lain di Indonesia terdapat juga tambahan berupa serambi, tempat iman, kolam tempat wudhu, tempat sholat wanita (pawestren), menara serta jam matahari untuk menentukan waktu sholat.                                                                       Pada mesjid-mesjid kuno di pusat kota  biasanya terdapat maksura yaitu tempat sholat penguasa atau raja. Selain tempat sholat, mesjid juga berfungsi sebagai tempay pendidikan agama dan aktivitas lain seperti pernikahan, urusan peradilan dan perayaan hari besar agama Islam serta kegiatan yang bernafaskan Islam.
Minangkabau merupakan wilayah yang memiliki kekuatan dari agama Islam yang dianut oleh masyrakatnya. Bahkan, dalam filosofi hidup orang Minangkabau, sering kita kenal sebutan“ Adat Ba-sandi Syara’ dan Syara’ Basandi Kitabullah (adat bersendi pada Agama, Agama bersendi pada Al-quran). Apa yang harus dianut dalam adat, harus sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Semangat seperti itulah yang terkandung dalam masyarakat Rao-Rao masa dulu. Semua itu terwujud dalam bangunan Masjid Raya Rao-Rao yang hingga kini kokoh berdiri dengan ciri khas menara masjid yang bergonjong, perpaduan antara rumah gadang (rumah adat Minang) dan gonjong seperti menara Masjid Masjidil Haram.                                                                 
Mesjid Rao-Rao adalah salah satu mesjid kuno di Sumatera Barat. Mesjid Rao-Rao berada dipinggir jalan Raya Batusangkar-Bukittinggi, Kec. Sungai Tarab, Kab, Tanah Datar. Mesjid ini dibangun pada tahun 1908. Pembangunan mesjid ini dahulunya dipelopori oleh Abdurrahman Datuk Marajo Indo, seorang tokoh adata sekaligus tokoh agaman yang disegani semasa pemerintahan Belanda di Batusangkar.                                                                                Mesjid Rao-Rao adalah benda cagar budaya (BCB) yang menurut UU No. 12 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, harus kita dilindungi dan dilestarikan. Sebagai mesjid kuno, mesjid ini memiliki ciri-ciri khas sebagaimana mesjid kuno di Indonesia, diantaranya: denahnya bujur sangkar, atap mesjid tumpang 3, memiliki serambi disamping mesjid, dibagian depan terdapat kolam tempat berwudhu dan di sekitar mesjid diberi pagar tembok dengan 1 gerbang.
Menurut cerita para tetua di Rao-Rao, sejak awal berdiri seabad lalu lantai masjid Rao-Rao tersusun dari keramik berkualitas tinggi. Tak tanggung-tang-gung, semua itu dipesan langsung dari negeri Tirai Bambu, China. Selain halus dan mengkilat walau dipakai sampai 50 lebih. Berhubung Rao-Rao nagari di pegu-nungan yang tak bisa diakses dari laut, dan angkutan darat seperti truk tidak tersedia, keramik itu harus dibongkar dari Pelabuhan Teluk Bayur Padang. Lalu dibawa dengan kereta api, dan kemudian digotong dengan kuda berjalan pelan dari Bukit Tinggi ke Rao-Rao.                                        
Mesjid Rao-Rao memiliki arsitektur yang sangat unik. Arsitektur mesjid ini adalah akulturasi arsitektur Eropa (Belanda), arsitektur vernakular (lokal) dan aristektur Hindu-Budha. Akulturasi arksitektur mesjid ini terjadi karena masa pembangunan yang masih kental dengan nuansa kolonial, sisa-sisa kepercayaan pra-Islam dan  sikap orang Minangkabau yang selalu terbuka dengan kebudayaan dari luar. Sehingga, terbentuklah sebuah mesjid dengan gabungan tiga  arsitektur.                                           
Komponen arsitektur Eropa terlihat pada dinding dan tiang-tiang yang tebal, bentuk pintu dan jendela gaya Eropa. Artiktektur vernakular terlihat pada kemuuncak atap mesjid yang berbentuk gonjong rumah gadang. Sedangkan arsitektur Hindu-Budha terlihat pada bentuk atap mesjid yang berbentuk atap tumpang 3. Atap tumpang adalah bentuk bangunan pra-Islam yang disebut meru, yang mulai dikenal para relief candi di Jawa Timur seperti candi Sarawana, Panataran, Kedaton, dll.
Mesjid Rao-Rao adalah warisan nenek moyang yang begitu indah dan megah. Karena itu, sebagai penerus hendaknya kita dapat menjaga dan melestarikannya agar keindahan mesjid Rao-Rao ini tidak hanya dinikmati saat ini saja, namun dapat pula berlanjut kepada generasi kita selanjutnya.






Monday, 1 April 2013

Analisis Litik Alat Batu

Analisis Litik Alat Batu
Oleh: Dodi Chandr, Mahasiswa Arkeologi UI

Analisis dalam penelitian arkeologi adalah suatu hal yang sangat penting, karena dengan analisis kita akan dapat mengetahui karakter yang dimiliki oleh artefak sebagai suatu hasil karya dan dalam hubungannya dengan artefak yang lain sehingga dapat diketahui pula karakter budaya masyarakat pendukungnya.
Secara umum analisis artefak dibagi dalam 4 macam, yaitu: 
a.       Analisis morfologi, identifikasi terhadap bentuk dan ukuran.
b.      Analisis teknologi, identifikasi pada teknik pembuatan artefak berdasarkan bahan baku, pengolahan bahan, teknik pengerjaan sampai benda dihasilkan termasuk teknik menghias.
c.       Analisis stilistik, identifikasi terhadap aspek dekoratif, seperti: warna, hiasan.
d.      Analisis jejak pakai, identifikasi pada sisa-sisa penggunaan sebuah alat atau artefak.         
Itulah sedikit gambaran umum mengenai tahap analisis dalam penelitian arkeologi. Dalam arkeologi terdapat suatu bagian analisis terhadap sebuah alat yaitu analisis litik. Analisis litik adalah analisis terhadap alat-alat masif yaitu alat-alat batu. Analisis litik dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
a.       Analisis tekonologi  (Makroskopis)
Analisis yang mengamati  cirri-ciri yang pada artefak akibat proses produksi dan pemakaian. Untuk memudahkan analisis teknologi ini, dilakukan eksperimen replikasi yaitu sebuah eksperimen yang berusaha membuat replika dari sebuah alat yang akan diteliti. Dalam eksperimen replika atribut dari artefak harus diperhatikan seperti atribut bentuk, bahan, warna dan ukuran sebuah artefak.
b.      Analisis fungsi (Makroskopis)
Analisis yang berusaha menentukan fungsi alat beradasarkan jejak-jejak pakai mikro yang terlihat pada permukaan alat, terutama pada daerah tajaman. Untuk mendukung analisis fungsi ini, maka para peneliti harus melakukan eksperimen pemakaian alat. Sehingga, dengan eksperimen tersebut ada hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu striasi, kerusakan tajaman alat dan microwear polish, kilap yang disebabkan karena pemakaian.

Dalam penelitian eksperimental replika ada beberapa teknik yang masih dapat  dilihat dari studi etnografi terhadap masyarakat tradisional di Indonesia. Teknik-teknik itu diantaranya adalah:
a.      Percussion Flaking
Teknik ini disebut juga dengan block-on-block atau direct rest flaking. Pada teknik ini batu inti yang akan diserpih dibenturkan pada batu lain, batu pelandas, yang terletak di atas tanah atau batu inti yang dipegang diatas batu pelanda dan dipukul dengan batu yang lain.
b.      Direct Percussion Flaking
Pada teknik ini batu inti dipegang oleh satu tangan dan dipukul dengan sebuah batu pukul tangan yang lain. Teknik ini terjadi karena adanya kontak langsung antara batu inti dengan percussor (batu pemukul).
c.       Indirect Percussion Flaking
Pada teknik ini tidak terjadi kontak atau benturan langsung antara batu inti dengan percussor. Batu inti diletakkan di atas tanah, dan dengan satu tangan memegang sebatang kayu atau tulang yang diletakkan pada batu inti, batu yang lain memukul kayu atau tulang tersebut.
d.      Pressure Flaking
Teknik yang menggunakan tekanan pada batu inti tanpa pukulan.