Monday, 23 September 2013

Prasasti Saruaso II


Prasasti Saruaso II
Oleh: Dodi Chandra, Arkeologi UI


Prasasti Saruaso II adalah salah satu prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Ãdityawarman  saat ibukota pemerintahan Kerajaan Malayu berada di Saruaso. Prasasti Saruaso II, semula berada di halaman Gedung Indo Jolito (Rumah Dinas Bupati Tanah Datar), tetapi kemudian dipindahkan ke halaman Balai Adat yang berada di depan Gedung Indo Jolito dan diberi cungkup. Prasasti Saruaso II dipahatkan pada sebuah batu pasit kwrsa yang berwarna cokelat kekuningan pada kedua belah sisinya. Batu prasasti ini berbentuk empat persegi panjang yang berukuran tinggi 110 cm, lebar 75 cm, dan tebal 17 cm. 
Foto: Prasasti Saruaso II
Sumber: Koleksi Pribadi: 2013


Transkripsi  Prasasti Saruaso terdiri dari dua sisi, yaitu sisi A dan sisi B. Pada dasarnya tulisan pada  sisi B sama persis dengan sisi A, namun berbeda pada susunan kalimat dalam masing-masing baris. Tulisannya agak aus, tetapi berdasarkan pada pembacaan prasasti sisi A, maka kata-kata yang tidak terbaca dapat diketahui. Prasasti Saruaso ditulis dalam hruf Jawa Kuna dan bahasa Sansekrta.  Berikut ini adalah isi dari Prasasti Saruaso II: Prasasti diawali dengan ucapan selamat yang lazim dalam setiap prasasti. Kalimat berikutnya berupa candra sengakala tetapi, belum dapat dipastikan unsur penanggalannya. Isi poko prasasti menyebutkan adanya seorang raja muda (yauwaraja) yang bernama Ãnanggawarman merupakan anak (tanaya) dari Raja  Ãdityawarman yang kemungkinan besar masih berkuasa pada saat prasasti tersebut ditulis. Kalimat lainnya adalah puji-pujian kepada Ãnanggawarman sebagai ratu (yauwaraja) yang gagah dan bersifat asih, berbakti pada ayah dan ibu serta guru.

       Dalam Prasasti Saruaso II  adalah hal menarik untuk dibahas terkait dengan isi prasastinya. Sebutan yauwaraja (raja muda) yang memerintah pada wilayah kecil di bawah kekuasaan raja. Dengan kedudukannya sebagai raja muda tentunya Ãnanggawarman mempunyai wilayah kekuasaan tersendiri, sekalipun masih dalam pengawasan kerajaan pusat. Jika seorang Ãnanggawarman memiliki wilayah kekuasaan sendiri, pertanyaan yang muncul adalah seberapa wilayah kekuasaanya itu dan bagaimanakah koneksi atau hubungan dia dengan pemerintahan pusat?. Namun, pertanyaan tersebut saat ini belum dapat di jawab, dikarenakan data tertulis dan data artefaktual yang sangat minim pada masa pemerintahan Ãnanggawarman. Tapi tidak tertutup kemungkinan bahwa Ãnanggawarman memiliki wilayah kekuasaan sendiri, tetapi gelar yauwaraja yang ia sandang kemungkinan hanyalah simbolis saja sebagai anak dari Ãdityawarman tanpa mempunyai otoritas pada wilayah tertentu.

         Penyebutan yauwaraja tidak hanya di Prasasti Saruaso II, tapi juga pada Prasasti Lubuk Layang yang berada di wilayah Pasaman. Prasasti tersebut ditulis dengan huruf Jawa Kuna dan bahasa Melayu Kuna dan Jawa Kuna. Prasasti Lubuku Layang tidak berangka tahun, namun dari perbandingan paleografinya mempunyai kesamaan dengan prasasti yang dikeluarkan oleh Ãdityawarman. Hal yang menarik dalam Prasasti Lubuk Layang adalah adanya penyebutan yauwaraja Bijayendrawarman yang mendirikan stupa di Parwatapuri.  Sehubungan dengan adanya penyebuta yauwaraja dalam dua prasasti yang berbeda dapat memunculkan asumsi bahwa adanya kesaman sistem pemerintahan Malayu Kuna (masa Adityawarman) dengan pemerintahan Kerajaan Majapahit. Sistem yauwaraja pada Kerajaan Majapahit yang ditiru oleh Ãdityawarman kemungkinan sebagai bentuk bhakti Adityawarman yang sebelumnya hidup dan bekerja pada Kerajaan Majapahit.

          Pada Kerajaan Majapahit yang berpusat di keraton, dibantu oleh raja-raja muda atau yauwaraja yang berkuasa di kerajaan kecil. Dalam pemerintahan Majapahit, yauwaraja memiliki gelar yaitu Bhre, misalnya Bhre Kahuripan. Mengingat lokasi dari prasasti Lubuk Layang yang jauh dari pusat pemerintahan pusat di Saruaso, mungkin sekali bahwa yauwaraja Bijayendrawarman berkuasa di sekitar lokasi prasasti, tapi tetap berada di bawah pengawasan pemerintahan pusat.

      Keberadaan Ãnanggawarman yang hanya tercantum dalam satu prasasti saja, menghambat pengetahuan kita terhadap perananya dalam masa pemerintahan Ãdityawarman, dan apakah ia adalah pengganti ayahnya (Ãdityawarman) setelah meninggal?. Hal ini , masih menjadi teka-teki yang belum dapat dipecahkan sampai sekarang. Namun dengan adanya informasi tentang raja muda atau yauwaraja memberikan informasi kepada kita tentang silsilah dari raja Ãdityawarman. Dalam Prasasti Saruaso II ada hal lain yang menarik yaitu keberadaan ornamen pada prasasti. Ornamen di Prasasti Saruaso II ada 2 buah, 1 buah di bagian depan dan 1 di bagian belakang

Foto: Ormanen pada bagian belakang prasasti Saruaso II
Sumber: Koleksi Pribadi: 2013

Ornamen pada bagian depan prasasti berbentuk ular biasa dan  kepala kala yang dengan gigir besar dan bertaring dan memakai mahkota kecil. Sedangkan , ornamen  pada bagian belakang berbentuk kepala juga tapi dengan tipe berbentuk guci dibalik dengan mata besar menonjol serta taring kecil

Foto: Ornamen pada bagian depan Prasasti Saruaso II
Sumber: Koleksi Pribadi: 2013

Saturday, 21 September 2013

Unsur Penanggalan Dalam Prasasti

UNSUR PENANGGALAN DALAM PRASASTI
Oleh: Dodi Chandra, 1006663171


Prasasti-prasasti Jawa Kuno di wilayah Indonesia sebagian besar memiliki unsur penanggalan. Unsur penanggalan ini dapat dilihat pada bagian awal kalimat prasasti. Hal tersebut penting karena kita dapat mengetahui kapan pastinya prasasti tersebut dibuat. Dengan adanya unsur penanggalan, peneliti juga dapat mengklasifikasikan prasasti berdasarkan periodenya, dimasa kerajaan dan raja yang memerintah saat itu, serta dapat dengan akurat menyesuaikan peristiwa yang terjadi pada waktu yang telah dicantumkan. Penentuan penanggalan harus dilakukan oleh ahli ilmu astronomi (perbintangan) yang disebut wariga, dengan mengikuti apa yang diajarkan dalam Kitab Bhāskarācārya atau Sūryasiddhānta (Bakker, 1972:16).
Awal digunakannya unsur penanggalan hanya berupa beberapa unsur saja, hingga seluruh unsur yang berjumlah lima belas unsur penanggalan telah dicatatkan dalam prasassti-prasasti masa Majapahit. Unsur penanggalan sesuai dengan yang dikenal di sistem penanggalan India meliputi lima unsur yaitu wāra, tithi, nakṣatra, yoga, dan karaṇa (Sewell & Dikshit, 1995: 2). Pada prasasti masa Jawa Kuno dikenal paling sedikit lima unsur yaitu warṣa atau tahun, māsa atau bulan, tithi atau tanggal, pakṣa atau paruh bulan, dan wāra atau hari. Format penanggalan seperti ini terus berlanjut hingga muncul satu demi satu kemajuan dalam ilmu astronomi yang mengukur secara pasti jika hari tersebut ada rasi bintang apa, hari, bulan, tahun, tanggal, planet apa yang melintas, dalam bentuk apa bulan waktu itu, dsb. Unsur yang berkembang lebih lanjut yaitu karaṇa, wuku, muhūrta, yoga, nakṣatra, dewatā, grahacāra, parweśa, maṇḍala, rāśi.
Karaṇa merupakan satuan waktu yang lebih kecil dari hari. Satu karaṇa sama dengan setengah tithi atau lebih tepatnya 0,492 hari. Dalam satu hari ada dua karaṇa atau 60 karaṇa dalam satu bulan. Nama karaṇa pertama dari tiap bulan adalah kimstughna, wawa, walawa, kolawa, taithila, garadi, wanija, wiṣṭi, sesudahnya kembali ke wava dan seterusnya, hingga tiga karaṇa terakhir yakni sakun, naga, dan catuspada (de Casparis, 1978: 23).

Wuku adalah periode yang terdiri dari tujuh hari, 30 wuku, masing-masing dengan namanya sendiri, jadi setahun terdiri dari 210 hari. Masing-masing vuku adalah sinta, landěp, wukir, krantil, tolu, gumbreg, wariga ning wariga, wariga, julung, julung sungsang, duṅulan, kuniṅan, laṅkir, maḍasidha, julung pujut, pahang, kuru wlut, marakih, tambir, madaṅkuṅan, maha tāl, wuyai, manahil, prang bakat, bala (muki), wugu-wugu, wayang-wayang, kulawu, dukut dan watu gunung (de Casparis, 1978: 57).

Muhūrta adalah saat tertentu untuk memulai upacara, bepergian dan lain-lain. Nama-nama muhūrta tidak semua diketahui. Dalam prasasti Jawa Kuno hanya 12 nama yakni bago, somya, śweta, baruṇa, wairājya, wijaya, sawitri, rudra, sakrāgni, bhojya, neriti, lagnaśweta. Nama-nama itu belum jelas posisinya dan urutannya dalam jam sekarang. Namun dapat diperkirakan bahwa rudra, śweta dan wairājya berada pada waktu pagi, sedangkan wijaya dan soma berada pada waktu sore hari (de Casparis, 1978: 54).
Yoga adalah waktu selama gerak bersamaan antara bulan dan matahari pada posisi 13º20’. Dalam satu putaran bulan mengelilingi bumi ada 360º : 13º 20’= 27 yoga. Satu yoga lamanya 0,941 hari, jadi ke 27 yoga membutuhkan 25,420 hari (de Casparis 1978: 22). Nama-nama yoga antara lain wiṣkambha, prīti, āyuṣman, sobhāgya, śobana, atigaṇḍa, sukarman, dhṛti, śūla, gaṇda, wṛddhi, dhruwa, wyatigata, harṣana, bajra, sidhi, wyatipati, wariyan, parigha, śiwa, sidha, sadya, śubha, śukla, brahma, indra, waidhṛti.
Nakṣatra adalah bintang atau sesuatu benda padat di angkasa, perbintangan atau konstelasi yang dilalui bulan, ruang bulan (Zoetmulder, 1982:688). Ada 27 nakṣatra dalam satu siklus yaitu aświni, bharaṇi, kṛtikkā, rohiṇi, mṛgasiras, ārdrā, purnnawaśu, puśya, aślesa, magha, pūrwa phalguni, uttara phalguni, hasta, citrā, śwati, wiśakha, anurādhā, jyeṣṭha, mūla, pūrwāṣāḍha, uttarāsāḍha, srāwaṇa, dhaniṣṭhā, satabhiṣaj, pūrwabhadrawāda, uttarabhadrāwāda, dan rewatī (de Casparis, 1978:52).
Nama-nama dewata yang sering digunakan dalam prasasti berhubungan dengan nakṣatra yang digunakan. Dewata adalah penguasa dari waktu yang ditunjukan dengan nakṣatranya. Nama-nama dewata adalah Aświnau, Yama, Agni, Prajāpati, Soma, Rudra, Aditi, Bṛhaspati, Sarpāḥ, Pitaroaḥ, Bhaga, Aryaman, Sawitṛ, Twastṛ, Wāyu, Śakra, Mitra, Indra, Ᾱpah, Wiśwedewah, Wiṣṇu, Wasawaḥ, Ajapāda, Ahirbudhnya, dan Pūsan (de Casparis, 1978:52).
Grahacāra adalah perjalanan planet-planet (posisi dalam zodiak) (Zoetmulder, 1982: 307). Menurut penanggalan India terdapat tujuh planet yaitu nairitistha, sunyasthana, agneyastha, uttarasthana, purwwasthana, adityasthana, anggarasthana, daksinatha, aisanyastha, pascimastha dan boyabyastha.
Parwesa adalah nama dari suatu kelompok perbintangan. Tetapi tidak ada keterangan yang lebih lanjut mengenai kelompok bintang mana yang dimaksudkan disini. Dalam pertanggalan India unsur ini tidak pernah disinggung. Dari prasasti Jawa Kuno diperoleh   saśi, brahma, kuwera, nairituya, yama, agni, baruṇa, kala dan indra.
Mandala adalah garis edar atau orbit benda angkasa (Zoetmulder, 1982: 642). Mandala adalah “tiap-tiap daerah dari delapan pembagian langit tempat nakṣatra berada”. Nama-nama mandala adalah Mahendra: penguasa timur, Kuwera: penguasa utara, Baruṇa: penguasa barat, Yama: penguasa selatan, Agni: penguasa tenggara, Naiṛṛti: penguasa barat daya, Wayu: penguasa barat laut dan Śiwa: penguasa timur laut. Pembagian ini sama dengan pembagian dewa penjaga mata angin atau astadikpalaka (Damais, 1995:115).
Rasi atau zodiak adalah pembagian langit secara geometris yang dapat diidentifikasi secara visual dengan bintang penanda. Nama-nama rasi adalah mesaaries, wṛsabhataurusmithunageminikarkaṭacancersiṅhaleokanyavirgotulalibra, wṛscikascorpiodhanus: sagitariusmakaracapricornkumbha: aquariusminapisces (de Casparis, 1978:54).
Pada varṣa (angka tahun) pada beberapa prasasti digunakan dua jenis penyebutan angka tahun, dengan angka ataupun dengan kata-kata. Di Jawa penyebutan angka tahun dengan kata-kata disebut candrasengkala atau sengkalan. Dalam sengkalan pun terdiri dari dua jenis yaitu sengkalan mĕmĕt dan sĕngkalan lamba. Sengkalan memet adalah angka tahun yang terdiri dari gambar, ukiran, relief, patung, atau bentuk lainnya yang memiliki makna dengan konotasi angka. Sedangkan sengkalan lamba adalah angka tahun yang berupa kalimat (Bratakesawa, 1968: 6).
Untuk lebih lengkapnya, penelitian mengenai penggunaan sengkalan dalam prasasti-prasasti di wilayah Indonesia serta Asia lainnya telah dibahas oleh Anissa dalam tesis Magister Humaniora di Universitas Indonesia dengan judul Penggunaan Kronogram di Indonesia, Vietnam, dan Kamboja Abad VII-XIVM: Pendekatan Arkeologis dan Epigrafis. Skripsi Tinia Budianti (Universitas Indonesia), juga membahas secara lengkap mengenai unsur penanggalan pada prasasti masa Sindok hingga Airlangga dalam judul "Prasasti-Prasasti Masa Sindok sampai dengan Airlangga: Sebuah Kajian Unsur Penanggalan". 

Pada makalah Trigangga yang dipublikasikan dalam Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuna di Universitas Indonesia, juga dibahas mengenai hal ini dengan makalah yang berjudul Prasasti di Petirtaan Belahan; Catatan Peristiwa Gerhana Bulan?. Juga pada buku 9 Windu Edi Sedyawati, 2010 dengan judul "Posisi Bulan dan Matahari Berdasarkan Unsur-Unsur Penanggalan Prasasti" 

Candi Tanjung Medan, Pasaman Timur, Sumatera Barat





Sumber Foto: Koleksi Pribadi: 2013

Rumah Gadang Dt. Bandaro nan kuniang, Nagari Limo Kaum, Batusangkar, Kab. Tanah Datar.


Sumber Foto: Koleksi Pribadi: 2013

Istana Kerajaan Siguntur, Dharmasraya

Sumber Foto: Koleksi Pribadi: 2012

Tari Satampang Baniah: Nagari Andaleh Baruh Bukik./D.C


Sumber: Koleksi Pribadi: 2013

Rumah Tuo Kampai nan Panjang, Nagari Balimbing, Kec. Rambatan, Kab. Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat

Sumber: Koleksi Pribadi: 2013