Sunday, 3 March 2013

Penyajian Koleksi Ruang Kolonial dan Kemerdekaan Museum Sejarah Jakarta



Penyajian Koleksi Ruang Kolonial dan Kemerdekaan
Museum Sejarah Jakarta Berdasarkan Pembabakan Masa
Oleh: Dodi Chandra

Jakarta merupakan wilayah yang sudah dihuni sejak masa prasejarah hingga saat ini. Artefak-artefak yang ditemukan di sepanjang aliran sungai Ciliwung merupakan salah satu buktinya. Pada masa klasik, Jakarta dikuasai oleh kerajaan Taruma yang dibuktikan dengan penemuan prasasti Tugu. Jakarta khususnya Sunda kelapa pada masa lalu adalah daerah kekuasaan kerajaan Taruma yang kemudian dikuasai kerajaan Sunda. Sebagai bandar yang ramai, berbagai bangsa datang berkunjung untuk berdagang. Perdagangan ini pula yang menyebabkan Belanda datang ke Indonesia (Soejono (ed), 1984) (Soemadio (ed), 1984). Pada masa Hindia Belanda, Batavia merupakan pusat administrasi pemerintah kerajaan Hindia Belanda. Selepas kolonialisasi, Indonesia memerdekakan diri dan menetapkan Jakarta sebagai ibukota. Sampai saat ini, Jakarta adalah kota metropolitan terbesar yang menjadi pusat pemerintahan, ekonomi, dan pendidikan Indonesia. Perkembangan Jakarta yang panjang dari masa prasejarah hingga modern ini dapat kita lihat di Museum Sejarah Jakarta yang berada di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat.
Museum Sejarah Jakarta terletak di Taman Fatahillah No. 1 Jakarta Barat. Museum Sejarah Jakarta didirikan pada tahun 1710 pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Abraham van Reibeck. Sejarah Museum Sejarah Jakarta secara singkat adalah sebagai berikut:
-          1707-1710 : Gedung dibangun
-          1710-1816 : Balai Kota Batavia
-          1816-1905 : Kantor Residensi Batavia
-          1905-1925 : Balai kota Batavia
-          1925-1942 : Kantor Pengumpul Logistik Dai Nipon
-          1945-1952 : Kantor Gubernur Jawa Barat
-          1952-1968 : Markas Komando Militer Kota (KMK) 1
-          1968 : Gedung diserahkan ke Pemda Jakarta
-          30 Maret 1974 : Diresmikan menjadi Museum Sejarah Jakarta oleh Gubernur Ali Sadikin
Secara periodisasi, ruangan di gedung utama museum ini dibagi menjadi masa Prasejarah, Klasik, Kolonial, dan Kemerdekaan. Ada satu ruang yang berhubungan dengan masa prasejarah, dua buah ruang Taruma, dan satu buah ruang Sunda. Pembahasan yang akan dilakukan saat ini berada di ruang dengan koleksi yang berhubungan dengan masa kolonial dan kemerdekaan. Ruangan tersebut yaitu: ruang Sunda Kelapa, ruang sejarah gedung, ruang Fatahillah, ruang mebel abad ke-17, ruang J. P. Coen,  ruang Betawi, ruang serangan Mataram ke Batavia, ruang mebel abad ke-17-19, ruang dewan pengadilan abad 18, ruang kerja abad ke-18, ruang tidur abad ke-18, ruang Daendels, ruang Raffles, ruang Dewan Kotapraja abad ke-18, ruang tidur abad ke-19, ruang Diponegoro, ruang mebel abad ke-19 dan pintu masuk.
Deskripsi masing-masing ruangan yang berkaitan dengan masa kolonial dan kemerdekaan yang berada di Museum Sejarah Jakarta adalah sebagai berikut:
1.      Ruangan Sunda Kelapa
Pada ruangan ini terdapat beberapa koleksi, diantaranya: minatur kapal Portugis (kapal Barca, kapal Carela, dan kapal Nau), prasasti Padrao, pakaian orang Portugis, dan keterangan-keterangan yang menjelaskan masuknya Portugis ke Sunda Kelapa. Secara umum memang ruangan Sunda Kelapa ini kurang menampilkan dengan baik gambaran mengenai Sunda Kelapa sebagai suatu pelabuhan yang ramai di masa lalu. Hal ini dikarenakan koleksi yang ditampilkan hanya koleksi yang berkaitan dengan kedatangan Portugis ke Sunda Kelapa. Padahal pedagang asing yang berdagang di Sunda Kelapa datang dari berbagai bangsa.
2.      Ruang Sejarah Gedung
Koleksi yang ditampilkan di antaranya papan peringatan Balai Kota, informasi mengenai kronologi bangunan, dan beberapa papan informasi. Ruangan ini digunakan sebagai jalur penghubung antara bagian belakang dengan bagian dalam museum.
3.      Ruang Fatahillah
Koleksi yang disajikan pada ruang ini adalah gong, maket gereja Batavia Baru, maket klenteng, dan mimbar. Secara umum ruangan ini tidak dapat menjelaskan sosok dari Fatahillah itu sendiri. Informasi mengenai koleksi yang ada tidak dipaparkan dengan lengkap sehingga pengunjung tidak memahami hubungan koleksi dengan penamaan ruang.
4.      Ruang Pameran Temporer
Koleksi yang dipamerkan pada kunjungan tanggal 20 Desember 2012 adalah cetakan bata yang digunakan saat pembangunan gedung-gedung di Batavia, 2 buah kotak display kosong, senjata lokal (kujang, mandau, trisula, tombak), persenjataan tentara VOC, papan informasi mengenai koleksi.
Fungsinya sebagai ruang pameran temporer kurang berfungsi optimal. Ini terlihat dari pemanfaatan ruangan yang kurang optimal karena ruangannya yang luas tidak diimbangi dengan  koleksi yang banyak. Koleksi yang disajikan juga terkesan tidak memiliki hubungan satu sama lain.
5.      Ruang J. P. Coen
Koleksi yang disajikan di runag ini di antaranya adalah meja, kursi panjang, lemari. Selain koleksi mebel, di ruangan ini juga terdapat foto bangunan Museum Sejarah Jakarta. Koleksi mebel yang dipamerkan sebenarnya kurang memiliki hubungan dengan tokoh J. P. Coen dan informasi yang diberikan sangat minim sehingga tidak dapat menjelaskan ruangan secara keseluruhan.
6.      Ruang Mebel abad ke-17








Koleksi mebel yang dipamerkan antara lain adalah meja, kursi, lemari, ayunan, sangkar burung, tempat tidur yang berasal dari abad ke-17. Dalam label tidak diberikan keterangan mengenai fungsi dan keterkaitan ruang dengan museum.
7.      Ruang Betawi
Koleksi yang ada di ruang Betawi ini adalah meja dan kursi, alat musik tanjidor (terdiri dari seperangakat terompet dan gendang), alat musik gambang kromong (yang terdiri dari gambang kromong, gendang, kecrek, dan gong, terdapat juga ningon dan kongahyan yang berasal dari pengaruh Cina), pakaian pernikahan Betawi, papan informasi mengenai tarian adat (Topeng dan Ronggeng) dan ragam bahasa Betawi. Sajian koleksi yang ada di ruang Betawi ini dirasa sudah cukup mewakili.
8.      Ruang serangan  Mataram ke Batavia
Satu lagi ruangan yang masuk dalam ruangan periode kolonial adalah ruang serangan Mataram ke Batavia. Serangan yang dilakukan oleh Sultan Agung ini dilakukan dua kali namun tidak ada yang berhasil. Koleksi yang dipamerkan adalah lukisan berukuran besar yang menggambarkan penyerangan Mataram ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629 yang dibuat oleh S. Soejono. Pada ruangan ini juga terdapat 2 koleksi meriam yang tidak memiliki keterangan.
9.      Ruang di lantai dua gedung utama
Terdiri dari ruang mebel abad ke-17-19, ruang dewan pengadilan abad 18, ruang kerja abad ke-18, ruang tidur abad ke-18, ruang Daendels, ruang Raffles, ruang Dewan Kotapraja abad ke-18, ruang tidur abad ke-19, ruang Diponegoro, ruang mebel abad ke-19. Ruangan-ruangan ini menyajikan beragam koleksi mebel seperti temapt tidur, meja, kursi, kaca, lemari, meja permainan, dan bangku. Penyajian koleksi mebel yang terlalu banyak dan kondisinya yang sudah mulai rusak sangat disayangkan.
10.  Pintu Masuk
Tepat begitu kita masuk ke dalam gedung melalui pintu utama terdapat sebuah ruangan yang menampilkan diorama proses hukuman mati di depan gedung Balai Kota Jakarta. Selain itu terdapat lemari tempat penyimpanan pedang eksekusi hukuman mati, terdapat pula lambang kota Jakarta yang dijabarkan pada permukaan perisai. Di bagian pintu masuk juga terdapat denah museum, papan informasi yang memberikan keterangan untuk setiap koleksi serta loket karcis.
Secara umum koleksi yang ditampilkan di Museum Sejarah Jakarta kurang menggambarkan sejarah dari kota Jakarta sendiri. Ruangan yang ada tidak dioptimalkan dalam memamerkan koleksi, sehingga terdapat bagian-bagian yang kosong dan tidak berfungsi dengan baik. Koleksi yang ada tidak semuanya sesuai dengan periodisasi ruangan. Penataan koleksi juga kurang ditata dengan baik dan beberapa dari koleksi tidak diberikan keterangan atau deskripsi mengenai koleksi tersebut. Selain itu, jumlah koleksi mebel yang ditampilkan jumlahnya terlalu banyak dan kondisinya rusak sangat mengganggu. Saran bagi pengelola gedung Museum Sejarah Jakarta adalah:
1.        kurangi koleksi mebel yang berada di lantai dua gedung utama karena jumlahnya terlalu banyak.
2.        Sesuaikan koleksi yang disajikan dengan nama ruangan pamer agar tidak membingungkan pengunjung seperti yang terjadi di ruang Sunda Kelapa, ruang J. P. Coen, ruang Daendels, ruang Raffless, ruang Diponegoro, dan ruang Fatahillah.
3.        Tambahkan koleksi yang berhubungan dengan ruang serangan Mtaram ke Batavia.
4.        Berikan label dan caption yang menarik yang berisi informasi mengenai koleksi yang disajikan.
5.        Tata ulang alur cerita antar ruang di museum ini agar kronologi pembabakan dapat dilihat dengan jelas.
            Penataan ulang koleksi di gedung utama Museum Sejarah Jakarta apabila dilakukan dengan baik maka akan menambah nilai gedung museum sendiri. Apalagi bila penataan ruang dan alur yang dilakukan disesuaikan dengan pembabakan sejarah di Jakarta.

Daftar Pustaka
Heuken, Adolf. 2000. Historical Sites of Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
Soejono, R. P (ed), 1984. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah. Jakarta: Depdikbud.
Soemadio, Bambang (ed), 1984. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuna. Jakarta: Depdikbud.
Sulistyowati, Dian, 2009. Strategi Edukasi dan Pemasarannya: Studi Kasus Museum Sejarah Jakarta. Skripsi FIB UI. Tidak diterbitkan.
Utama, Satria, 2011. Tata Pamer yang Komunikatif di Museum Sejarah Jakarta. Skripsi FIB UI. Tidak diterbitkan.

Saturday, 2 March 2013

Sarkofagus dan Kepercayaan Masyarakat Bali

SARKOFAGUS  DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT BALI

Oleh: DODI CHANDRA



Tradisi megalitik adalah bagian dari rangkaian kehidupan prasejarah di Indonesia. Megalitik berasal dari kata “mega” berarti besar dan “lithos” berarti batu. Tradisi ini muncul pada masa bercocok tanam sesuai dengan semakin berkembangnya sistem kepercayaan dan pemujaan terhadap nenek moyang. Tradisi ini tersebar luas di daerah Asia Tenggara dan sampai saat sekarang tradisi itu masih dipertahankan dan dipraktikkan oleh masyarakat suku tradisional di Indonesia. Dalam hal ini, prasejarah turut pula mewarnai sejarah prasejarah Indonesia.
Penelitian kepurbakalaan Bali  tahun 1960-1963 yang dilakukan oleh R.P Soejono mengindikasikan bahwa sebelum kebudayaan Hindu berkembang di Bali, telah berkembang suatu kebudayaan prasejarah yang meliputi: paleolitik, opi-paleolitik, neolitik, perhubungan kebudayaan megalitik dan logam awal. 
Kepercayaan masa bercocok tanam begitu kental dengan sikap terhadap alam kehidupan sesudah mati, terumata kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejateraan dan kesuburan tanaman. Pada masa ini masyarakat memiliki kepercayaan  bahwa roh orang tidak lenyap pada saat orang itu meninggal dan masih mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam kepercayaan pada masa bercocok tanam, upacara yang paling menonjol adalah upacara pada waktu penguburan. Dalam hal penguburan ini , situs Gilimanuk adalah situs yang lengkap dan luas di Pulau Bali. Pola penguburan bermacam-macam, dengan bekal kubur yang bermacam-macam pula, serta temuan sertanya yang bervariasi. Menurut Soejono dalam disertasi yang berjudul Sistem-sistem penguburan pada akhir masa prasejarah di Bali, Jakarta, 1977. Di situs Gilimanuk ada beberapa pola penguburan yaitu kuburan tanpa wadah baik sekunder maupun primer, kubur dengan tempayan dan sarkofagus.
Penguburan secara luas terdiri dari penguburan secara langsung (primer), tidak langsung (sekunder), wadah dan non wadah. Penguburan langsung (primer) dapat dilakukan di tempat yang sering dihubungkan dengan asal usul anggota masyarakat atau tempat yang dianggap tempat tinggal arwah nenek moyang. Dalam penguburan ini si  mati dibekali dengan macam-macam keperluan sehari-hari yang dikubur bersama-sama atau seiring disebut dengan bekal kubur, benda-benda perunggu (gelang, tajak), benda-benda besi (pahat, mata tombak), manik-manik, periuk, dan kadang-kadang berupa perhiasan emas  dengan maksud agar perjalanan si mati ke alam baka dan kehidupan selanjutnya terjamin dengan sebaik-baiknya. Penguburan tidak langsung (sekunder) dilakukan dengan mengubur  mayat lebih dahulu dalam tanah atau kadang-kadang dalam peti kayu yang dibuat berbentuk perahu, yang ini dianggap sebagai kuburan sementara karena upacara yang terpenting dan berakhir belum dapat dilaksanakan. Setelah semua persiapan dalam upacara selesai, maka mayat yang sudah jadi rangka itu diambil lagi dan dikuburkan ditempat yang disediakan. penguburan dengan wadah dan tanpa wadah. Penempatan si mati dalam benda diatas adalah tindakan yang saling mengguntungkan antara si mati dan yang ditingkalkan, karena menjadi lambang perlindungan bagi manusia berbudi baik. Penguburan kedua adalah dengan menggunakan wadah dan terbuat dari batu, seperti: dolmen (Bondowoso, Lampung, Sumba), waruga (Minahasa), kalamba (Bada, Napu), sarkofagus (Bali), peti kubur batu  (Pasemah, Kuningan, Bojonegoro, Gunung Kidul, Kalimantan Timur), kubur silindris (Dompu). Selain itu, ada juga yang terbuat dari bahan tanah liat yang berupa tempayan yang terdapat di Lewoleba, Lambanapu, Melolo, Anyer, Plawangan, Gilimanuk, Tile-tile, Bengkulu, Jambi) serta ada juga wadah yang terbuat dari logam yaitu nekara perunggu misalnya tipe Heger I seperti di Plawangan, Lamongan, Traji dan Manikliyu. Kuburan tanpa wadah banyak terdapat di: tepi pantai seperti: Gilimanuk, Plawangan, Sanur, Gunung Wingki, Buni, Lewoleba, dalam gua seperti di Liang Bua. Namun, penguburan wadahlah yang masih bisa kita lihat buktinya sampai saat sekarang. Salah satu contoh wadah kubur yang terkenal di Bali adalah sarkofagus.
Sarkofagus merupakan sebuah wadah atau tempat kubur dari batu berbentuk seperti lesung batu yang terdiri dari wadah dan tutup dengan bentuk dan ukuran yang sama. Fungsi dari sarkofagus itu sendiri adalah sebagai kuburan, peti mayat atau wadah kubur baik baik untuk sementara waktu ataupun tidak. Penemuan sarkofagus merata di seluruh Indonesia. Selain di Bali, sarkofagus juga ditemukan di Sumut, P. Samosir yang oleh penduduk setempat dinamakan Parholian, Di Kalimantan, Sarkofagus ditemukan di daerah aliran sungai Long Danum dan Long Kajanan, Di Sumbawa Barat di temukan empat buah sarkofagus dengan ukiran-ukiran manusia dan binatang.
Pada penemuan yang ada, penggunaan sarkofagus pada masa lalu hanya dapat digunakan untuk orang yang memiliki strata sosial yang tinggi dan hal ini dibuktikan dengan banyaknya bekal kubur yang pada dahulunya melambangkan tingkat sosial seseorang. Sarkofagus yang berfungsi sebagai wadah kubur tak jarang ditemukan mayat dalam sarkofagus terbebut, posisi mayat yang paling sering ditemukan adalah posisi mayat lurus, telentang atau miring dengan berbagai macam sikap tangan (lurus di samping tubuh, menyilang di atas dada atau perut dengan telapak tangan menutupi daerah kemaluan, dan lainnya). Kemudian terdapat juga posisi mayat terlipat (duduk atau terbujur miring), dengan lutut menekuk di bawah dagu dan tangan terlipat di bagian kepala atau leher.
Setelah penggalian-penggalian dilakukan, sampai pada tahun 2009 telah ditemukan lebih dari 128 sarkofagus dari 12 lokasi/desa yang terbanyak dari Kabupaten Gianyar, termasuk Desa Keramas. Selain itu, di Bali juga ditemukan wadah kubur lainnya yaitu bilik batu di Kalibukbuk dan peti kayu di Temukus dan nekara perunggu di Manikliyu dan tempayan tanah liat yang banyak ditemukan di Gilimanuk. Fungsi sarkofagus zaman prasejarah di Bali saat sekarang memang tidak lagi kita lihat, namun kelanjutan dari penggunaan sarkofagus dalam hal penyimpanan mayat masih dapat kita lihat dalam upacara Ngaben, dimana mayat disimpan dalam peti kayu dan dapat dilihat disini bahwa ini adalah kelanjutan dari penggunaan sarkofagus walaupun bahanya tidak dari batu lagi. Kelanjutan tradisi ini menunjukkan adanya perkembangan pada pola dan cara penguburan.
Sarkofagus Bali sebenarnya tidak hanya 1 jenis, namun sarkofagus di Bali memiliki banyak tipe yang memiliki karakteristik masing-masing. Seojono dalam hal ini membagi sarkofagus Bali atas 3 tipe: tipe A, tipe B, tipe C. Tipe A, berukuran kecil (dengan variasi antara 80-148 cm) serta bertonjolan di bidang depan dan di bidang belakang wadah dan tutup. Tipe A memiliki banyak bentuk lagi yang kemudian dikelompokkan menjadi 6 subtipe, yaitu: subtipe 1 (gaya Celuk), subtipe 2 (gaya Bona), subtipe 3 (gaya Angantiga), subtipe 4 (gaya Bunutin), subtipe 5 (gaya Busungbiu), subtipe 6 (gaya Ambiarsari). Tipe B, berukuran sedang (dengan variasi antara 150-170), tanpa tonjolan. Tipe C berukuran besar (dengan variasi 200-268 cm) dan bertonjolan di tiap-tiap bidang wadah dan tutup. Namun, dengan terbatasnya jumlah sarkofagus tipe B dan C sehingga tidak dapat dibedakan ke dalam sub-tipe.
Kebanyakan dari pada sarkofagus itu sendiri biasanya terbuat dari batu padas yang relatif lunak dan dihiasi dengan ukiran-ukiran, misalnya: burung, manusia, geometris dll. Dari hasil pengamatan di lapangan, temuan sarkofagus memiliki berbagai jenis bentuk dan tipe dengan bentuk dan ornamen yang berbeda. ada yang memiliki motif seperti kepala manusia dengan rambut panjang, ada yang berbentuk kepala manusia memiliki sanggul, bentuk wajah menyeramkan, dan semua bentuk tersebut terdapat patung pria di bawah dagunya dan patung wanita di belakangnya. Menurut R.P Soejono dalam disertasi “Sistem-sistem penguburan pada akhir masa prasejarah di Bali”, Jakarta, 1977, terdapat fungsi religius pada tonjolan hiasan pada sarkofagus di Bali. Tonjolan itu berupa bentuk kepala dan pahatan tubuh manusia. Arti dari corak tersebut agar kekuatan jahat yang mengganggu arwah dapat dicegah. Tonjolan dalam bentuk manusia yang menjulurkan lidah misalnya yang secara simbolis dianggap memiliki daya pengusir roh yang mungkin mengganggu roh si mati Pola-pola pahat berubah wadah manusia, manusia dengan sikap kangkang dan kemaluan perempuan yang mungkin merupakan lambang akan kesuburan, kemakmuran, keselamatan dan kelahiran kembali. mungkin itu. Hiasan pada sarkofagus tersebut dapat kita lihat pula pada sarkofagus yang ditemukan Kretek yang pada dinding muka sarkofagusnya dihiasi dengan ukiran binatang berkaki empat dengan ekornya menjulur ke atas, seekor burung yang sedang mengangkat cakarnya, dan tiga bentuk manusia, yang 1 besar dan 2 lainnya kecil. Berbeda dengan Kretek, sarkofagus Kemuningan pun terdapat ukiran manusia dengan jenggot dan mata melotot, sedangkan hiasan berbentuk geometris banyak menghiasi sarkofagus yang ditemukan di Tunggulangin. Ragam hias pada sarkofagus Bali lainnya, yaitu sarkofagus yang ditemukan di Jembrana yang memakai hiasan vagina.  Hiasan vagina pada sarkofagus Jembrana adalah lambang kekuatan magis yang mampu menolak segala kekuatan jahat yang mungkin dapat mengganggu perjalanan arwah ke dunia akhirat. Dengan hiasan ini, digambarkan seakan-akan orang yang dikuburkan dalam sarkofagus seperti berada dalam kandungan seorang ibu dan dengan demikian dapat dikembalikan ke asalnya. Di samping itu, vagina seperti halnya genitalia laki-laki adalah lambang kesuburan yang dapat mensejahterakan masyarakat. Namun, di luar Jembrana hiasanya tidak memakai hiasan vagina tetapi mempunyai hiasan kedok muka. Umumnya, sarkofagus yang ditemukan di Gianyar dan Bangli memakai hiasan kedok muka yang dipahatkan pada tonjolan wadah dan tutupnya. Di antara hiasan ini, ada yang memperlihatkan wajah yang menakutkan, mata bulat atau membelalak dan ada juga seperti melawak, mulut terbuka atau menganga dan lidahnya menjulur keluar. Hiasan-hiasan ini adalah lambang nenek moyang yang mempunyai kekuatan magis penolak bahaya dan dapat memberikan keselamatan atau kesejahteraan. Ada juga sarkofagus yang memakai hiasan manusia kangkang, yaitu sarkofagus Tamanbali (Bangli) dan Tigawasa (Buleleng). Masyarakat megalitik pada akhir zaman prasejarah di daerah Bali percaya bahwa arwah seorang pemimpin atau nenek moyang yang dianggap berada di puncak gunung atau bukit terdekat mempunyai kekuatan magis yang dapat menentukan nasib kaum kerabat dan masyarakat yang masih hidup. Di Bali arah gunung atau yang disebut “kaja” merupakan arah yang memberikan berkah dan disanalah dianggap tempat bersemayam nenek moyang dalam kepercayaan Bali asli.
Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya “Pengantar Ilmu Antropologi”, Jakarta, 1980, menyebutkan bahwa alam pikiran prasejarah menganggap bahwa roh-roh itu bertahta di gunung-gunung atau di laut. Kepercayaan masyarkakat Bali kepada alam gunung sebagai tempat roh juga melanjut setelah Hindu datang dan gunung Agung dipandang gunung suci dan sebagai simbiolisasi alam gunung suci didirikanlah bangunan suci berupa meru pada pura-pura di Bali. . Desa-desa yang masih kuat pada kepercayaan Bali aslinya atau sering disebut “Bali Aga” adalah Trunyan, Setulung, Sembiran, dan Tenganan. Di desa-desa Bali Aga tersebut masih banyak ditemukan bangunan-bangunan megalitik seperti menhir, pelinggih batu, batu berundak.
Sampai saat sekarang tradisi megalitik di Bali masih digunakan. Dalam tulisan I Made Sutaba berjudul “ Megalithic Tradition in Sembiran, North Bali”, Jakarta, 1976 … “Semibran Megalithic tradition are stiil strongly a live and paly and important role in the religious life the local people there”. Bangunan megalitik yang masih digunakan adalah  pelinggih/takhta batu yang banyak ditempatkan di pura-pura di Bali. Ia menyebutkan banyak pura-pura di Bali masih menggunakan pelinggih dalam upacara pada roh nenek moyang. Saat sekarang terdapat sekitar 17 pura yang masih mempertahankan tradisi megalitik (pelinggih) yaitu: Pura Sanghyang Kedulu, Pura Dalem, Pura Ngudu, Pura Suksuk, Pura Pelisan, Pura Sanghyang Sakti, Pura Janngotan, Pura Ratu Ngurah Dijaba, Pura Kayehan Kangin, Pura Tegalangin, Pura Dukuh, pura Melaka, Pura Jampurana, Pura Pandem, Pura Pintu, Pura Sanghyang Tegeh, Pura Empu.
Dari penjelasan panjang diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepurbakalaan di Bali merupakan rentetan dari sejarah panjang kepurbakalaan Indonesia. Perkembangan kepercayaan masyarakat Bali adalah salah satu faktor yang menyebabkan Bali menjadi salah satu tempat yang kaya akan peninggalan kepurbaklaan terutama prasejarah. Kebudayaan megalitik di Bali sampai sekarang menunjukkan peranan yang sangat penting dan mempengaruhi dalam tatanan kehidupan masyarakat Bali dan masih dipandang nilai-nilai kesucian, contoh bangunan megalitik itu adalah: menhir, pelinggih, dll.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Poesponegoro MD, Notosusanto N. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka
2.      Soejono, R.P, 1977. Sistem-sistem penguburan pada akhir masa prasejarah  di Bali. Jakarta
3.      Sutaba, I Made, 1976. “Megalithic Tradition in Sembiran, North Bali”, Aspek-aspek Arkeologi Indonesia. Jakarta: PT. Guruh Kemarau Sakti
4.      Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
5.      Gede Ardana, I Gusti. 1977. “Unsur Megalitik dalam Hubungan dengan Kepercayaan di Bali”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi Cibulan 21-25 Februari 1977. Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala, Depdikbud