Sunday, 5 May 2013

Rumah Gadang Siguntur, Dharmasraya


Rumah Gadang Siguntur, Dharmasraya
Oleh: Dodi Chandra

 
Foto: Rumah Gadang Siguntur (Koleksi Pribadi: 2013)

Rumah Gadang Kerajaan Siguntur terletak di Jorong Siguntur, Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya atau sekitar 5 kilometer dari Kantor Bupati Kabupaten Dharmasraya.
Menurut informasi dari Aciak Sarianah (keturunan ke-9 Raja Siguntur), rumah gadang ini sudah ada selama agama Islam masuk ke daerah Siguntur. Rumah gadang ini didirikan tahun 1800-an dengan luas bangunan 118,4 m². Rumah Gadang ini sudah dipugar, yang kemudian mengubah ruangan rumah gadang dari 7 menjadi 5 ruang. Bangunan ini pada awalnya berfungsi sebagai tempat musyawarah adat ninik mamak Siguntur dan masih berfungsi sampai sekarang.
Bangunan ini merupakan bangunan tradisional Minangkabau dengan ciri khas atap bergonjong, terbuat dari bahan seng, namun pada awalnya terbuat dari ijuk. Dinding dan lantai dari bahan kayu. begitu juga jendela dan pintu. Pada awalnya bangunan tersebut kaya akan ornamen dan ukiran tradisional yang melambangkan status sosial Raja Siguntur mengingat rumah gadang ini merupakan tempat tinggal raja. Bentuk bangunan adalah rumah panggung dengan denah berbentuk persegi panjang dan memiliki teras di depannya. Pada bagian halaman dari rumah gadang ini juga terdapat rangkiang, bagian kaki arca dan megan (nisan) yang berasal dari masa pra-Islam.

 
Foto: Kaki Arca dan Nisan (Koleksi Pribadi: 2013)

Arsitektur Vernakular: Fungsi dan Pelestarian


Arsitektur Vernakular : Fungsi dan Plesetariannya
Oleh: Dodi Chandra


Arsitektur adalah disiplin ilmu yang sangat fokus pada bangunan baik itu dari teknik, planning, project, dll. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan diversitas suku (etnis) notabenenya memiliki arsitektur tradisional sendiri dan secara tidak langsung memberikan warna dalam dunia arsitektur. Asitektur tradisional dalam tulisan ini kita sebut dengan arsitektur vernacular. Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan berakar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan pengalaman (trial and error), menggunakan teknik dan material lokal serta merupakan jawaban atas setting lingkungan tempat bangunan tersebut berada dan selalu membuka untuk terjadinya transformasi. Arsitektur vernakular diwujudkan dalam rumah tradisional yang unik yang dibangun berdasarkan dengan gaya bangunan tertentu yang menunjukkan keanekaragaman yang sangat menarik.
Di era globalisasi arsitektur modern  tumbuh dan berkembang dengan cepat. Kemampuan sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi mampu memproduksi sebuah arsitektur jauh dari unsur etnisitas. Menurut Sonny Susanto, salah seorang dosen arsitek pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia mengatakan bahwa arsitektur vernakular merupakan bentuk perkembangan dari arsitektur tradisional, yang mana arsitektur tradisional masih sangat lekat dengan tradisi yang masih hidup, tatanan kehidupan masyarakat, wawasan masyarakat serta tata laku yang berlaku pada kehidupan sehari-hari masyarakatnya secara umum. Dalam perkembangannya, arsitektur vernakular mengalami banyak tekanan, baik dari dalam maupun dari luar, antara lain dari masyarakat industri Barat yang menebarkan potensi dari teknologi modern dan bahan bangunan modern, sehingga eksistensi arsitektur vernakular terusik dan meenjadi lemah. Tapi, globalisasi mengisaratkan kepada kita agar lebih peduli dan menjaga kelestrian arsitektur vernakular dari  daerah kita masing-masing.
Peranan arsitektur vernakular dalam hal ini tidak hanya dalam konteks kebudayaan di Indonesia. Tapi, melibatkan pula negara Asia terkhususnya Asia Tenggara yang satu rumpun pada zaman dahulunya. Tradisi dan arsitektur vernakular punya hubungan yang erat. Tradisi memberikan suatu jaminan untuk melanjutkan kontinuitas akan tatanan sebuah arsitektur melalui sistem persepsi ruang, bentuk, dan konstruksi yang dipahami sebagai suatu warisan yang akan mengalami perubahan secara perlahan melalui suatu kebiasaan. Misalnya bagaimana adaptasi masyarakat lokal terhadap alam, yang memunculkan berbagai cara untuk menanggulangi, misalnya lingkungan dengan cara membuat tempat tinggal yang melindungi diri dari hewan-hewan buas yang akan membahayakan keslamatan diri dan dengan memperhatikan potensi lokal seperti potensi udara, tanaman, material alam dan sebagainya, maka akan terciptalah suatu bangunan arsitektur rakyat yang menggunakan teknologi sederhana dan tepat guna. Kesederhanaan inilah yang merupakan nilai lebih sehingga tercipta bentuk khas dari arsitektur vernakular dan tradisional serta menunjukkan bagaimana menggunakan material secara wajar dan tidak berlebihan. Hasil arsitektur vernakular ini secara nilai merefleksikan pola hubungan manusia dengan lingkungan yang berwawasan lingkungan.


Meriam Bonjol


Meriam Bonjol
 Oleh: Dodi Chandra


Foto: Meriam Bonjol (Koleksi Pribadi: 2013)


Situs Meriam Bonjol terletak lebih kurang 150 m dari jalan Pasar Ganggo Hilir, arah utara. Dari pertulisan yang tercantum pada meriam diketahui bahwa meriam tersebut berasal dari Portugis dan dibuat sekitar tahun 1700-an.
 Kondisi meriam saat ini sebagian terkubur dalam tanah. Yang tampak di permukaan adalah bagian moncongnya serta beberapa buah proyektil. Meriam yang tampak di permukaan memiliki panjang sekitar 50 cm dengan lubang meriam berdiameter 11 cm.
Menurut informasi dari Bapak Ali Usman, informan di daerah Bonjol mengatakan bahwa dalam keadaan utuh meriam tersebut memiliki ukuran panjang antara 1 – 1,5 m, dilengkapi roda.
Proyektil berjumlah 14 buah berdiameter 9 cm, 10 cm, 13 cm, dan 14 cm. Tiga buah proyektil yang berukuran 13 cm dan sebuah yang berukuran 14 cm bukan merupakan proyektil dari meriam tersebut. Pada proyektil ini terdapat lubang tempat mengisi mesiu yang akan meledak bila membentur sasaran. Proyektil ini memiliki pelontar khusus yang berukuran lebih besar. Selain meriam terdapat kayu yang dipergunakan untuk mencampur mesiu. 
Menurut informasi dari Pak Ali Usman, lokasi meriam semula berada di Benteng Bukit Takjadi, namun untuk melindungi meriam kemudian meriam dipindahkan di dekat Pasar Ganggo Hilir. Dengan perpindahan lokasi tersebut, meriam ditempatkan pada sebuah bangunan atau cungkup yang dibangun oleh masyarakat sekitar. Selain untuk menjaga benda budaya, masyarakat juga menganggap meriam tersebut sebagai benda keramat, sehingga perlu dilindungi.