UNSUR PENANGGALAN DALAM
PRASASTI
Oleh: Dodi Chandra, 1006663171
Prasasti-prasasti Jawa Kuno di wilayah Indonesia sebagian besar
memiliki unsur penanggalan. Unsur penanggalan ini dapat dilihat pada bagian
awal kalimat prasasti. Hal tersebut penting karena kita dapat mengetahui kapan
pastinya prasasti tersebut dibuat. Dengan adanya unsur penanggalan, peneliti
juga dapat mengklasifikasikan prasasti berdasarkan periodenya, dimasa kerajaan
dan raja yang memerintah saat itu, serta dapat dengan akurat menyesuaikan
peristiwa yang terjadi pada waktu yang telah dicantumkan. Penentuan penanggalan
harus dilakukan oleh ahli ilmu astronomi (perbintangan) yang disebut wariga, dengan mengikuti apa yang diajarkan dalam Kitab Bhāskarācārya atau Sūryasiddhānta (Bakker,
1972:16).
Awal digunakannya unsur penanggalan hanya berupa beberapa unsur saja,
hingga seluruh unsur yang berjumlah lima belas unsur penanggalan telah
dicatatkan dalam prasassti-prasasti masa Majapahit. Unsur penanggalan sesuai dengan yang dikenal di sistem penanggalan
India meliputi lima unsur yaitu wāra, tithi, nakṣatra, yoga, dan karaṇa (Sewell
& Dikshit, 1995: 2). Pada prasasti
masa Jawa Kuno dikenal paling sedikit lima unsur yaitu warṣa atau
tahun, māsa atau bulan, tithi atau
tanggal, pakṣa atau paruh bulan, dan wāra atau
hari. Format penanggalan seperti ini terus berlanjut hingga muncul satu
demi satu kemajuan dalam ilmu astronomi yang mengukur secara pasti jika hari
tersebut ada rasi bintang apa, hari, bulan, tahun, tanggal, planet apa yang
melintas, dalam bentuk apa bulan waktu itu, dsb. Unsur yang berkembang lebih
lanjut yaitu karaṇa, wuku, muhūrta, yoga, nakṣatra, dewatā, grahacāra,
parweśa, maṇḍala, rāśi.
Karaṇa merupakan
satuan waktu yang lebih kecil dari hari. Satu karaṇa sama dengan setengah tithi atau
lebih tepatnya 0,492 hari. Dalam satu hari ada dua karaṇa atau
60 karaṇa dalam satu bulan. Nama karaṇa pertama
dari tiap bulan adalah kimstughna, wawa, walawa, kolawa, taithila,
garadi, wanija, wiṣṭi, sesudahnya kembali ke wava dan
seterusnya, hingga tiga karaṇa terakhir yakni sakun,
naga, dan catuspada (de Casparis, 1978: 23).
Wuku adalah
periode yang terdiri dari tujuh hari, 30 wuku, masing-masing dengan
namanya sendiri, jadi setahun terdiri dari 210 hari. Masing-masing vuku adalah sinta, landěp,
wukir, krantil, tolu, gumbreg, wariga ning wariga, wariga, julung, julung sungsang,
duṅulan, kuniṅan, laṅkir, maḍasidha, julung pujut, pahang, kuru wlut, marakih,
tambir, madaṅkuṅan, maha tāl, wuyai, manahil, prang bakat, bala (muki),
wugu-wugu, wayang-wayang, kulawu, dukut dan watu gunung (de
Casparis, 1978: 57).
Muhūrta adalah
saat tertentu untuk memulai upacara, bepergian dan lain-lain. Nama-nama muhūrta tidak
semua diketahui. Dalam prasasti Jawa Kuno hanya 12 nama yakni bago,
somya, śweta, baruṇa, wairājya, wijaya, sawitri, rudra, sakrāgni, bhojya,
neriti, lagnaśweta. Nama-nama itu belum jelas posisinya dan urutannya
dalam jam sekarang. Namun dapat diperkirakan bahwa rudra, śweta dan
wairājya berada pada waktu pagi, sedangkan wijaya dan soma berada
pada waktu sore hari (de Casparis, 1978: 54).
Yoga adalah
waktu selama gerak bersamaan antara bulan dan matahari pada posisi 13º20’.
Dalam satu putaran bulan mengelilingi bumi ada 360º : 13º 20’= 27 yoga. Satu yoga lamanya 0,941 hari,
jadi ke 27 yoga membutuhkan 25,420 hari (de Casparis
1978: 22). Nama-nama yoga antara lain wiṣkambha, prīti,
āyuṣman, sobhāgya, śobana, atigaṇḍa, sukarman, dhṛti, śūla, gaṇda, wṛddhi,
dhruwa, wyatigata, harṣana, bajra, sidhi, wyatipati, wariyan, parigha, śiwa,
sidha, sadya, śubha, śukla, brahma, indra, waidhṛti.
Nakṣatra adalah
bintang atau sesuatu benda padat di angkasa, perbintangan atau konstelasi yang
dilalui bulan, ruang bulan
(Zoetmulder, 1982:688). Ada 27 nakṣatra dalam satu siklus yaitu aświni,
bharaṇi, kṛtikkā, rohiṇi, mṛgasiras, ārdrā, purnnawaśu, puśya, aślesa, magha,
pūrwa phalguni, uttara phalguni, hasta, citrā, śwati, wiśakha, anurādhā,
jyeṣṭha, mūla, pūrwāṣāḍha, uttarāsāḍha, srāwaṇa, dhaniṣṭhā, satabhiṣaj,
pūrwabhadrawāda, uttarabhadrāwāda, dan rewatī (de
Casparis, 1978:52).
Nama-nama dewata yang sering digunakan dalam prasasti
berhubungan dengan nakṣatra yang digunakan. Dewata adalah
penguasa dari waktu yang ditunjukan dengan nakṣatranya.
Nama-nama dewata adalah Aświnau, Yama, Agni,
Prajāpati, Soma, Rudra, Aditi, Bṛhaspati, Sarpāḥ, Pitaroaḥ, Bhaga, Aryaman,
Sawitṛ, Twastṛ, Wāyu, Śakra, Mitra, Indra, Ᾱpah, Wiśwedewah, Wiṣṇu, Wasawaḥ,
Ajapāda, Ahirbudhnya, dan Pūsan (de Casparis,
1978:52).
Grahacāra adalah
perjalanan planet-planet (posisi dalam zodiak) (Zoetmulder, 1982: 307). Menurut
penanggalan India terdapat tujuh planet yaitu nairitistha, sunyasthana,
agneyastha, uttarasthana, purwwasthana, adityasthana, anggarasthana,
daksinatha, aisanyastha, pascimastha dan boyabyastha.
Parwesa adalah
nama dari suatu kelompok perbintangan. Tetapi tidak ada keterangan yang lebih lanjut mengenai kelompok bintang
mana yang dimaksudkan disini. Dalam pertanggalan India unsur ini tidak
pernah disinggung. Dari prasasti Jawa Kuno diperoleh saśi,
brahma, kuwera, nairituya, yama, agni, baruṇa, kala dan indra.
Mandala adalah
garis edar atau orbit benda angkasa (Zoetmulder, 1982: 642). Mandala adalah
“tiap-tiap daerah dari delapan pembagian langit tempat nakṣatra berada”.
Nama-nama mandala adalah Mahendra: penguasa timur, Kuwera:
penguasa utara, Baruṇa: penguasa barat, Yama: penguasa
selatan, Agni: penguasa tenggara, Naiṛṛti: penguasa barat
daya, Wayu: penguasa barat laut dan Śiwa: penguasa timur
laut. Pembagian ini sama dengan pembagian dewa penjaga mata angin atau astadikpalaka (Damais, 1995:115).
Rasi atau
zodiak adalah pembagian langit secara geometris yang dapat diidentifikasi
secara visual dengan bintang penanda. Nama-nama rasi adalah mesa: aries, wṛsabha: taurus, mithuna: gemini, karkaṭa: cancer, siṅha: leo, kanya: virgo, tula: libra,
wṛscika: scorpio, dhanus: sagitarius, makara: capricorn, kumbha: aquarius, mina: pisces (de
Casparis, 1978:54).
Pada varṣa (angka
tahun) pada beberapa prasasti digunakan dua jenis penyebutan angka tahun,
dengan angka ataupun dengan kata-kata. Di Jawa penyebutan angka tahun dengan kata-kata disebut candrasengkala atau sengkalan.
Dalam sengkalan pun terdiri dari dua jenis yaitu sengkalan mĕmĕt dan sĕngkalan lamba.
Sengkalan memet adalah
angka tahun yang terdiri dari gambar, ukiran, relief, patung, atau bentuk lainnya
yang memiliki makna dengan konotasi angka. Sedangkan sengkalan lamba adalah angka tahun yang
berupa kalimat (Bratakesawa, 1968: 6).
Untuk lebih lengkapnya, penelitian mengenai penggunaan sengkalan dalam
prasasti-prasasti di wilayah Indonesia serta Asia lainnya telah dibahas oleh
Anissa dalam tesis Magister Humaniora di Universitas Indonesia dengan
judul Penggunaan Kronogram di Indonesia, Vietnam, dan Kamboja Abad
VII-XIVM: Pendekatan Arkeologis dan Epigrafis. Skripsi Tinia
Budianti (Universitas Indonesia), juga membahas secara lengkap mengenai
unsur penanggalan pada prasasti masa Sindok hingga Airlangga dalam judul
"Prasasti-Prasasti Masa Sindok sampai dengan Airlangga: Sebuah Kajian
Unsur Penanggalan".
Pada makalah Trigangga yang dipublikasikan dalam Seminar Internasional
Epigrafi dan Sejarah Kuna di Universitas Indonesia, juga dibahas
mengenai hal ini dengan makalah yang berjudul Prasasti di Petirtaan
Belahan; Catatan Peristiwa Gerhana Bulan?. Juga pada buku 9 Windu Edi
Sedyawati, 2010 dengan judul "Posisi Bulan dan Matahari Berdasarkan
Unsur-Unsur Penanggalan Prasasti"
No comments:
Post a Comment