Tuesday, 5 March 2013

Pengaruh Islam terhadap Sastra Klasik Nusantara


Pengaruh Islam terhadap Sastra Klasik Nusantara
Oleh: Dodi Chandra, mahasiswa Arkeologi UI

Masuknya Islam ke Indonesia merupakan proses akulturasi penduduk pribumi dengan para pedagang yang membawa ajaran Islam. Islam yang diterima oleh masyarakat tidak hanya dalam konteks agama saja, namun  unsur pendukung yang dibawa oleh para pedagang seperti: bahasa Arab dengan aksaranya, kesusteraan serta adat-istiadat tanah asalnya. Pada abad 14 dan 15 M, ketika penyebaran agama Islam sedang berlangsung, bahasa pendukung budaya Islam di Nusantara adalah bahasa Melayu. Sehingga,  tidak heran bahasa Melayu menjadi lingua franca di Nusantara. Kita dapat lihat pada saat awal aksara Arab sudah  diadopsi oleh bahasa Melayu dan mungungguli huruf abjad India. Di seluruh kepulauan Nusantara, kata dan ungkapan Melayu  yang ada kaitannya dengan keislaman diterima ke dalam bahasa pribumi.
Bahasa lain yang juga memiliki sastra klasik yang luas tentang agama Islam adalah bahasa Jawa. Pada awal penyebarannya, ajaran ditransfer secara lisan dan kemudian ditulis dalam dalam aksara Jawa Kuno. Saat  ini, bagi ulama pengetahuan tulisan dan bahasa Arab merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan dalam penyebaran agama Islam. Sehingga,  lambat-laun aksara Jawa Kuno tersisih oleh aksara Arab sebagai wahana bahasa Jawa bagi teks-teks keagamaan dan juga dalam bahasa pribumi.
Pada Islam masuk ke Nusantara, bahasa-bahasa yang ada di Nusantara sudah memiliki kemapanan dalam budaya tulis. Pada sastra Melayu dapat kita lihat seperti  teks Melayu yang berasal dari abad ke-16 seperti: Hikayat Sri Rama, Sang Boma, dan cerita-cerita Panji. Ini merupakan bukti bahwa materi sastra tertulis sudah mencapai taraf yang tinggi. Sedangkan, pada sastra Jawa masih dapat dilihat dari sastra Jawa pra-Islamnya yang masih terpelihara oleh keberadaan Bali yang sampai saat ini masih mempertahankan agama Hindu.
Sudah dikemukakan sebelumnya bahwa ketika masyarakat menerima agama Islam seluruh kompleks kebudayaannya turut pula berakulturasi dengan budaya pribumi. Pertemuan dua kebudaayan akan menghasilkan berbagai perubahan dan melahirkan unsur-unsur baru dalam kesusteraan, bahasa serta perilaku sosial. Apabila kita lihat tulisan yang sampai pada kita saat ini, dapat dilihat adanya dua kelompok yang dipengaruhi Islam yaitu sastra yang mengemukakan ajaran-ajaran agaman dan yang secara tidak langsung berkaitan dengan Islam. Naskah-naskah yang berisi ajaran Islam ada bermacam-macam. Naskah yang tertua ialah adalah tulisan buda atau gunung yang berisi informasi tentang bentuk agama Islam yang dianut masyarakat pada awal agama Islam di Indonesia. Dalam bahasa Melayu kita memiliki tulisan-tulisan seperti: Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, dan lain-lain yang berisi ajaran fiqih, tauhid, tasawuf, tanya jawab, puisi atau prosa.
Bahasa Arab menjadi bahasa wajib dipelajari ketika seseorang mempelajari agama Islam. Ajaran Islam yang terdapat di Al-Qur’an dan Hadist menuntut seseorang untuk belajari dan memahami bahasa  Arab. Karangan berbahasa Arab oleh pribumi merupakan bagian khazanah naskah yang diwariskan kepada kita. Karya terjemahan Al-Qur’an bahasa Melayu yang pertama dibuat oleh Abdul Rauf pada abad ke-17. Selain itu, karya Al-Ghazali pun diterjamahkan oleh Abdal Samad pada abad ke-18.
Selain karya berbahasa Arab, pribumi juga menghasilkan karya mengenai ajaran Islam dalam bahasa daerah. Pada masa konsolidasi Islam, mulai ditanamkan nilai-nilai Islam melaui tulisan-tulisan yang kemudian dapat dipahami oleh khalayak ramai. Salah satu contoh karya dalam bahasa daerah itu adalah sekolompok sastra Jawa yang disebut dengan suluk. Suluk merupakan puisi keagamaan yang khusus mengungkapkan pemikiran agama dengan metode mistisme, kadang berbentuk tanya-jawab dan juga naratif. Sastra didaktik merupakan bagian penting dari budaya tradisional Indonesia. Karya-karya yang memberikan pentunjuk tentang cara hidup yang diajarkan oleh Islam. Selain itu, secara tidak langsung juga mengajarkan nilai-nilai yang dihargai dalam Islam. Ini terjadi pada masa awal penduduk pribumi yang masih dekat dengan agama lama, namun mereka ingin mengikuti pola dari agama yang baru diterima. Dalam kondisi ini, tokoh-tokoh teladan sangat diperlukan untuk memenuhi harapan mereka yang masih labil, seperti: Amir Hamzah, Muhammad Hanafiyah, Samaun, dan Hasan Husain yang menjadi tokoh teladan dalam rangka mempertahankan dan menyebarkan Islam, kesetiaan dan bakti terhadap nabi Muhammad S.AW.
Pada zaman Islam, di dalam sastra Jawa muncul cerita-cerita kepahlawanan yang dibumbui dengan dialog keagamaan Islam yang cenderung mistik, seperti Hikayat Sultan Ibrahim Ibnu Adham yang meninggalkan kerajaannya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Jenis ini sedikit menyimpang dari wiracarita gaya lama yang selalu terpusat pada kerajaan. Menurut para pakar, jenis ini dimungkinkan karena asas demokrasi dalam Islam yang memberikan kebebasan kepada pengarang tanpa adanya intervensi dari kungkungan monarki dan adat sosial lama.
Saat ini, terdapat suatu kelompok cerita keagamaan tentang Nabi Muhammad yang sampai saat ini masih bertahan, antara lain Hikayat Nabi Bercukur (Melayu) atau Nabi Paras (Jawa), Nabi Mikrad, dan Maulud Nabi.
Penjelasan di atas memberikan gambaran pengaruh Islam yang merasuki kehidupan sastra, meskipun bentuk dan isi yang lama tetap bertahan, asalkan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Salah satu unsur pengaruh yang perlu dikemukakan di sini adalah aksara. Peninggalan naskah Islam Melayu bertuliskan Arab tidak terdapat lagi, namun naskah Melayu yang masih ada dan tertua berasal dari abad ke-16 yang ditulis dalam aksara Arab. Apapun aksara yang sebelumnya dipakai, secara sempurna digantikan oleh aksara Arab yang telah diadaptasikan dengan baik pada sistem bunyi Melayu. Dengan menyebarnya bahasa Melayu ke sebahagian besar Nusantara seperti: Ternate, Tidore, Sumbawa, Bima,dan Ambon , berimplikasi pula pada penyebaran aksara  Arab di Nusantara. 
Keadaan dalam sastra Jawa sedikit berbeda. Tulisan Arab telah masuk pada saat yang dini, tapi penggunaan aksara Jawa-India tetap masih digunakan sampai abad ke-20. Keadaan ini berdampak pada lontar beraksara Arab yang dapat diakatan tidak ada. Pada umumnya penggunaan aksara Jawa-Arab dan Jawa-India terbagi menurut pokok teks yang ditulis. Pertama untuk teks keagamaan dan kedua untuk teks sekuler. Perlu diingat disini bahwa penggunaan abjad atau aksara Arab tidak terbatas pada kedua  bahasa di atas, namun meluas ke bahasa daerah yang lain, misalnya bahasa Aceh, Minang, Sunda, Madura, dll dimana ada kelompok budaya yang memeluk Islam.
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Islam dapat memberikan sebuah jalan dalam pengembangan sastra di Nusatara. Sehingga dengan menyebarnya Islam, berimplikasi pula pada kemajuan sastra di Nusantara.

Rock Painting di Indonesia : sebuah gambaran umum


Rock Painting di Indonesia: sebuah gambaran umum
Oleh: Dodi Chandra, Mahasiswa Arkeologi FIB  UI

Manusia prasejarah tidak hanya meninggalkan sisa-sisa kegiataanya yang berbentuk artefak saja tapi juga meninggalkan karya seni lukis yang diterakan pada dinding gua tempat huniannya. Dalam masa prasejarah kehidupan manusia sudah menunjukkan kreasi manusia dalam menghadapi tantangan alam serta lingkungannya. Dengan kemampuannya dalam beradaptasi tersebut mereka berhasil menaklukan lingkungan serta mampu memanfaatkan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, antara lain dengan cara berburu.
 Hasrat dan keinginan manusia untuk mengekspresikan keindahan, muncul ketika manusia mulai hidup semi menetap di dalam gua-gua.  Seni Cadas atau lukisan gua itu dibuat ketika kehidupan manusia sudah menetap, karena ketika manusia prasejarah masih nomaden (berpindah-pindah tempat) keselamatan relatif tidak terjamin, sehingga lukisan tidak ditemukan.  Ekspresi keindahan tersebut, dituangkan oleh manusia prasejarah  dalam bentuk seni lukis  yang diterapkan pada dinding gua, dinding batu atau karang. Media  yang digunakan oleh manusia prasejarah untuk melukis adalah media-media yang mudah dan tanpa melakukan usaha lagi untuk mendapatkannya. Maka media lukis tersebut kebanyakan adalah dinding gua atau karang. Karena selain sebagai tempat tinggal, pada masa prasejarah dinding-dinding gua digunakan sebagai media untuk mengekspresikan pengalaman, perjuangan dan harapan hidup manusia dalam bentuk lukisan gua
Persebaran lukisan gua ini tersebar diseluruh Indonesia dan umumnya terdapat di gua-gua tropis. Karena pada masa berburu dan meramu gua-gua tropis adalah tempat yang nyaman bagi manusia purba dan juga didukung dengan ketersediaan bahan makanan di daerah tropis yang cukup. Pada awalnya kebanyakan dari penemuan lukisan gua tersebut  terdapat di daerah Indonesia Timur seperti: Iriannya, pulau Seram, pulau Kei, Sulawesi, Flores. Namun,  sekarang lukisan juga terdapat diderah Kalimantan timur. penemuan tersebut berupa gambar-gambar telapak tangan, figure manusia dan binatang. Ini  mungkin  terjadinya difusi seni lukisan gua dari daerah timur ke daerah barat Indonesia tapi itu semua harus dibuktikan dan perlu penulurusan lebih lanjut agar dapat membuktikan itu semua. Tidak hanya di wilayah Indoensia lukisan gua bisa berkembang  namun, ternyata juga  berkembang pula di luar Indonesia seperti; di Eropa misalnya di Italia, Sepanyol, Perancis dan di Afrika. Di wilayah Asia misalnya terdapat di India, Thailand dll, serta di Australia. Lukisan yang terdapat di beberapa negara tersebut diperkirakan sebagai hasil kebudayaan masyarakat yang hidup berburu dan mengumpulkan makanan pada tingkat sederhana hingga tingkat lanjut. Keberadaan Seni Cadas di luar Indonesia menandakan bahwa kebudayaan yang berkembang di Indonesia tidak jauh berbeda dengan kebudayaan yang berkembang di belahan dunia lain.
                Seni cadas atau lukisan gua (rock art) adalah suatu gambar, motif dan desain yang dibuat pada permukaan batuan alamiah yang tidak bergerak, seperti permukaan tebing, dinding goa dan bongkahan batu besar.  Defenisi yang lebih luas lagi mengenai rock art itu sendiri adalah lukisan yang dibuat dengan cara: melukis dan menggambar (pictographs), seperti lukisan (paintings), gambar (drawings), dan cetakan (stencilings). Selanjutnya dengan cara menggores atau menoreh (petroglyps), seperti lukisan (engravings), goresan (incisings), dan cungkilan (gougings).
Sebagai peninggalan masa prasejarah memiliki arti dan nilai yaitu: berfungsi sebagai  bentuk karya seni, ushaha untuk mengekspresikan keindahan alam, simbol, lambang-lambang visual, pengalaman, perjuangan, harapan hidup, dan mungkin juga sebagai bahasa yang hendak dikomunikasikan kepada generasinya, khususnya komunitas mereka yang mengggunakan gua sebagai tempat hunian pada masa lampau.
                Lukisan gua secara umum dibuat dengan warna merah, hitam, putih, cokelat. Objek yang banyak dilukis antara lain  berupa: cap-cap tangan, babi rusa, binatang melata, perahu,kuda,  ikan, dsb. Objek-objek yang banyak dilukis tersebut secara umum adalah hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari manusia prasejarah pada saat itu. Termasuk pula di dalamnya fenomena alam seperti: awan, hujan, halilintar serta benda langit berbentuk matahari, bulan, dan bintang. Ini semua adalah bentuk aktualisasi manusia prasejarah terhadap apa yang ia lihat, rasakan dan ia lakukan. Karena dari penemuan artefak-artefak manusia purba banyak para ahli berpendapat bahwa manusia purba dengan adaptasi terhadap alam menyebabkan ia dapat memanfaatkan semua yang ada dilingkunganya. Bahkan, dengan banyaknya dan dominannya penemuan lukisan yang bermotif hewan, sehingga ada seorang ahli seni cadas yang layak menyebutnya sebagai seni hewan “animal art”.
                Meskipun ada istilah aminal art , rupanya tidak semua jenis hewan menjadi objek seni lukis, melainkan hanya beberapa saja yang dikenalnya sehari-hari atau hanya jenis-jenis yang sering diburunya saja seperti: kuda, babi, rusa. Ada juga beberapa jenis hewan lainnya yang mereka gambar namun tidak makan atau jarang dimakan, termasuk hewan melata dan serangga yaitu: beruang, singa, harimau, ular, lipan. Jenis-jenis makhluk yang digambarkan ini  mungkin hanya merupakan tanda peringatan kepada masyarakat setempat, bahwa hewan tersebut sangat berbahaya bagi manusia dan harus dihindari atau dibinasakan.
                Hasil seni prasejarah baik yang berupa seni lukis, relief, atau seni patung tidak hanya semata-mata unutk mengekspresikan keindahan atau perjuangan saja tetapi memiliki pula nilai-nilai magis- religius (Sumiati AS 1984). Oleh karena itu, gaya karya seni prasejarah ditentukan oleh faktor-faktor yang mendukung penampilannya. Faktor itu antara lain adalah kepercayaan. Bertolak dari anggapan itu, maka hasil seni tersebut diatas dalam pengambarannya kurang memperhatikan ketepatan anatomi serta proporsinya, unsur yang diutamakan adalah simbolisnya, sehingga hasil seni prasejarah dalam pengambaran objek lebih menonjolkan arti simbolisnya, dari pada ketepatan anatomi dan proporsinya contoh pengambaran motif manusia.
                Motif manusia sering pula digambarkan antropomorfis dengan gaya kangkang atau motif manusia dengan kepala besar atau dengan genetalianya yang menonjol. Lukisan yang bersifat anthropomorfis atau perlambangan fisik manusia semata-mata dan secara umum dihubungkan dengan aspek magis. Bahkan sering pula manusia digambarkan dengan hanya diwakili oleh bagian-bagian tertentu dari tubuh manusia. Bagian- bagian tubuh manusia tersebut juga tidak sembarang, bagian yang dipilih adalah bagian-bagian yang memilki kekuatan magis lebih banyak bila dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain. Yang mana bagian tersebut adalah mata dan muka. Namun, makna yang terkandung  pada lukisan gua, tergantung pada cara kita menempatkan objek dan juga tergantung pada lukisannya.. Seperti contoh  gambar cap tangan yang berwarna merah yang diletakkan di bagian yang tinggi, dalam dan sulit dijangkau, merupakan cap tangan nenek-moyang yang pertama kali datang ke gua tersebut. Sedangkan warna merah tersebut dilambangkan sebagai warna darah sebagai elemen kehidupan yang diyakini dapat menghidupkan kembali para arwah nenek-moyangnya di alam baka. Namun, tampaknya tidak cukup cap tangan saja tapi juga bagian-bagian tubuh manusia lainnya seperti cap kaki, mata, wajah dalam bentuk kedok atau topeng serta genital wanita, termasuk wujud manusia itu sendiri, dianngap memilki kekuatan magis. Motif wujud manusia itu sendir banyak ditemukan di gua Pulau Muna (Sulawesi Tenggara), yang tampil dengan peran manusia pemburu, prajurit, nelayanm peladang, dan penari bahkan ada dalam bentuk “manusia burung” yang dicirikan dengan cakar pada tangan dan kakinya. Motif penari ini juga terdapat gua Kobori, masyarakat berpendapat motif tersebut memilki kekuatan magis. Demikian pula motif genital wanita yang hanya dijumpai di gua Wa Bose yang diperkirakan memiliki kekuatan magis (kesuburan).
                Motif hewan banyak dijumpai dengan motif babi,rusa  dan kuda. Namun, diantara motif hewan juga ada yang dianggap mempunyai kekuatan magis, misalnya apabila pada tubuh terdapat suatu yang unik seperti gambar mata panah, mata tombak atau semacam luka, maka ini semua memberikan gambaran tentang adanya keyakinan terhadap unsur-unsur yang bersifat magis. Motif tersebut adalah seperti yang terdapat di gua Pattakere I yang mengambarkan seekor babi sedang melompat, dan pada bagian jantungnya tertera mata panah. Para ahli berpendapat bahwa lukisan tersebut mencerminkan adanya unsur magis dalam lukisan itu lebih tepatnya (kontak-magis) yang bermakna agar hasil buruannya bertambah banyak. Motif yang serupa juga ditemukan di gua Sakapao (Sulsesl), yang memilki motif cap tangan dengan bagian lengan bawahnya dan babi. Babi disini memiliki 2 keunikan yaitunya adanya goresan pada tubuh seekor babi yang menyerupai bekas luka yang kemudian dikaitkan dengan unsur religius (kesuburan). Motif lainya dari lukisan gua dapat kita temui di gua Lompoa yang memilki motif matahari, ikan perahu, dan bentuk geometrik, sedangkan yang unik adalah di gua Kassi yang memiliki motif kapak, mata bajak, dan ular. Motif yang lain adalah motif cap kaki yang satu-satunya ditemukan di gua Sumpang (Sulsesl), motif ini lali diindaksikan dengan upacara ketika anak mulai mampu berjalan untuk pertama kalinya.
                Lukisan adegan berburu yang termasuk”spektakuler” terdapat di gua Metanduno, menampilkan seorang pemburu sedang menancapkan tombaknya kepunggung seekor rusa, sementara 2 ekor anjing mangikutinya dari belakang. Lukisan ini memberikan kesan bahwa adanya unsur sosial-ekonomis, yaitu kegiatan berburu sendiri, dalam upaya membunuh rusa sebagai salah satu bahan pangannya.
                Seni cadas juga menampilakn motif flora atau tumbuhan hanya terdapat di gua Toko, pulau Muna. Motif flora tersebut adalah kelapa dan jagung. Para ahli menidentifikasi bahwa kelapa dan jagung merupakan 2 jenis tanaman  pangan yang mulai dibudidayakan pada masa bercocok tanam dan ini menandakan juga bahwa masyarakat sudah mengenal system pengolahan tanah sebagai lahan pertaniannya, baik kebun atau ladang.
                Lukisan yang tergolong unik juga terdapat di gua Wabose, Pulau Muna yang menampilkan motif genital atau kelamin wanita dengan tekhnik garis sederhana yang secara proporsional yang tidak menunjukan sosok manusia seutuhnya. Hal ini juga disimpulkan bahwa ada kaitannya dengan makna religis-magis yang mengandung kesuburan.
                Kesederhanaan lukisan dapat kita temui pada seni cadas yang terdapat Maluku dan Papua Barat. Lukisan ini lebih dipengaruhi oleh unsur-unsur religi-magis daripada unsur sosial-ekonomi. Seperti contoh lukisan di Pulau Kei, Maluku yang pada umumnya hanya dibuat garis luar saja (outline figure). Gaya ini mirip dengan lukisan yang terdapat di Pulau Seram, Papua Barat dan Timor Leste. Lukisannya memperlihatkan motif manusia dengan posisi jongkok, menari, berburu, berperang, memegang perisai, ada pula motif burung, perahu, matahri, bantuk geomterik yang memperlihatkan unsur religis-magis. Dan dapat disimpulkan pula bahwa luksian gua yang terdapat dalam gua Pulau Seram dan Kepulauan Kei yang menggambarkan tentang rites magic. Pembuatan lukisan ini menunjukan bahwa manusia pada masa itu berusaha untuk menujukan tingkat kecerdasan kemampuan mereka dalam melaksanakan kepercayaannya.  Semua yang digambarkan dalam lukisan gua pada masa prasejarah merupakan sebuah bentuk refleksi dari kehidupan yang di jalani pada masanya.
                Jadi, lukisan gua (rock art)  merupakan sebuah perwakilan kata-kata manusia pada masa itu yang ingin disampaikan kepada segenap masyarakatnya dan akhirnya menjadi bukti bagi manusia sekarang untuk mempelajarinya sekaligus merupakan inspirasi bagi seniman-seniman lukis untuk membuat sebuah karya lukisan dalam bentuk dan bahan yang berbeda. Lukisan yang terdapat pada dinding gua-gua yang ada ini bukan sekedar lukisan, karena lukisan itu diselimuti oleh suasana sakral dan religius. Melalui lukisan seseorang dapat berkomunikasi dengan kekuatan yang lebih tinggi (supranatural). Sehingga apa yang diharapkan dapat dikabulkan. Lukisan cap tangan juga bukan hanya sekedar lukisan, tetapi merupakan simbol belangsungkawa dan perjalanan dalam “dunia lain”. Ini artinya bahwa lukisan-lukisan yang terdapat pada dinding gua-gua memiliki nilai religius dan sosial-ekonomi.

Daftar Pustaka

1. Poesponegro, Marwati Djoened. (2008). Sejarah Nasional Indonesia I "Zaman Prasejarah di     Indonesia". Jakarta: Balai Pustaka
2. Permana, Cecep Eka. 2008. Kuliah Umum Lukisan Prasejarah. Depok. (dalam format pdf)
3. Whitley, David. S. 2005. Introduction to: Rock Art Research. California: Left Coast Press, inc
4. Sumiarti AS.  1984. “Lukisan Manusia di Pulau Lomblen (Tambahan Data Hasil Seni Bercorak Prsejarah), Flores Timur”. Berkala Arkeologi V. Yogyakarta:  Balai Arkeologi Jakarta
5. Nasrudduin. 2004. Kalpataru (Majalah Arkeologi) “Temuan Tanda Tangan dan Potensi Situs Gua-gua Hunian di Kawasan Pergunungan Marang, Kalimantan Timur”.). Kalpataru (Majalah Arkeologi Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Bidang Sejarah Dan Purbakala, Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional
6. Prasetyo,Bagyo, D.P Bintarti, dkk. 2004. Religi pada masyarakat Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Kemenbudpar, Proyek Penelitian dan Pengembangan Arkeologi



Sunday, 3 March 2013

Tahap Penelitian Arkeologi



Tahap Penelitian Arkeologi

Sumber: Mundardjito. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Depertemen Pendidikan Nasional, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Jakarta

1.      Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan Data, meliputi:
a.       Penjajagan
Pengamatan tinggalan arkeologi di lapangan untuk memperoleh gambaran tentang potensi data arkeologi dari suatu situs arkeologi. Dalam tahap ini, peneliti melakukan pengamatan terhadap keadaan lingkungan dan pencatatan tentang jenis tinggalan arkeologi (archaeological remains, kemudian menandai ke dalam peta (plotting).
b.      Survei
Surevei adalah pengamatan tinggalan arkeologi yang disertai dengan analisis yang dalam. Survei juga dapat dilakukan dengan cara mencari informasi dari penduduk. Tujuan survei untuk memperoleh benda atau situs arkeologi yang belum pernah ditemukan sebelumnya atau penelitian ulang terhadap benda atau situs yang pernah diteliti.
Kegiatan survei terdiri atas:
1.      Survei Permukaan
Kegiatan untuk  mengamati permukaan tanah dari jarak dekat. Pengamatan dilakukan untuk mendapatkan data arkeologi dalam konteksnya dengan lingkungan sekitarnya antara lain jenis tanah, keadaan permukaan bumi, keadaan flora.
2.      Survei Bawah Tanah
Merupakan aktivitas  untuk mengetahui adanya tinggalan arkeologi yang terdapat di bawah tanah dengan menggunakan alat-alat tertentu. Teknik yang sering digunakan adalah: pemantulan (dowsing), penusukan (probing), pengggemaan (sounding), pengeboran (augering), geofisika.
3.      Survei Bawah Air
Survei bawah air dapat dilakukan dengan cara:
a.       Teknik Banjar Linier, para penyelam menempatkan diri pada jarak tertentu, kemudian bergerak bersama-sama kea rah depan dengan suatu garis lurus.
b.      Teknik Banjar Melingkar, para penyelam menempatkan diri pada jarak tertentu, kemudian secara berbanjar melakukan survey dengan mengelilingi suatu titik yang telah ditentukan membentuk radius yang semakin besar.
4.      Survei Udara
Survei udara dimaksud sebagai pengamatan dari udara terhadap gejala permukaan tanah dan mendokumentasikan dengan alat foto. Penafsiran foto udara ini akan menitikberatkan pada perbedaan pola dan warna dari suatu foto udara yang akhirnya dapat memberikan berbagai penafsiran keadaan yang sebenarnya di darat
5.      Wawancara
Wawancara adalah interaksi dan komunikasi yang akan di alami oleh arkeolog dalam pengumpulan data. Wawancara dalam arkeologi lebih dikhususkan untuk studi etnoarkeologi. Wawancara dapat dilakukan dengan wawancara tertutup dan wawancara terbuka.
6.      Sampling
Penarikan sampling merupakan suatu kegiatan peting dalam  penelitian arkeologi, karena dapat memberikan gambaran yang representatif  mengenai kuantitas dan kualitas data arkeologi dari suatu situs.
c.          Ekskavasi
Ekskavasi adalah satu teknik pengumpulan data melalui penggalian tanah yang dilakukan secara sistematik untuk menemukan suatu atau himpunan tinggalan arkeologi dalam situasi in situ.
Teknik ekskavasi dapat dibagi atas:
1.      Teknik Spit (arbitrary level), teknik yang didasarkan pada kepadatan temuan ataupun jenis temuan.
2.      Teknik Lapisan Alamiah (natural layer), menggali tanah dengan mengikuti lapisan tanah secara alamiah.
3.      Teknik Lot, teknik menggali yang menggabungkan teknik lapisan alamiah dengan teknik spit.


2.      Pengolahan Data


Data-data yang akan diolah antara lain adalah:
a.       Artefak : benda alam yang diubah oleh tangan manusia, baik sebagian (kapak perimbas, serpih bilah, alat tulang), maupun seluruhnya (keramik)
b.      Serbuk sari, tanah.
c.       Fitur: artefak yang tidak dapat diangkat dari tempat kedudukannya (matrix), misalnya: bekas lantai, bekas dinding, makam, lubang atau posthole, dll.
Setelah data dikumpulkan, maka data tersebut diolah melalui beberapa tahap, yaitu:
a.       Klasifikasi awal : artefak dan ekofak yang terkumpul harus segera dibersihkan dan dikonservasikan serta melakukan pencatatan penemuan, foto, gambar.
Perlakuan terhadap artefak dan ekofak:
-         penomoran dan penginventarisasikan berdasarkan kategori
-         pengkatalogisasian dan pemilahan berdasrkan kategori
-         penyimpana berdasarkan kategori
b.      Klasifikasi lanjutan : klasifikasi lanjutan dilakukan untuk menentukan dan kemudian menyajikan data dalam kelompok yang sama dan yang berbeda, yang akan memunculakn pola dan konteksnya. Dasar pengelompokkan dalam klasifikasi adalah atribut yang terdapat pada suatu artefak yaitu atribut bentuk (berkaitan dengan bentuk tiga dimensi serta ukuran metrik artefak), atribut gaya (berkaitan dengan ragam hias, motif hias, dan pola hiasan artefak), dan atribut teknologi (berkaitan dengan bahan, teknik pembuatan, tekni penyelesaian serta teknik hias artefak)

3.      Analisis
Dalam penelitian arkeologi, analisis dilakukan melalui 3 tahap:
a.       Tahap identifikasi, tahap penentuan atribut-atribut yang dimiliki
b.      Tahap perekaman, tahap memasukkan data dalam formulir atau strukutr database.
c.       Tahap pengolahan, tahap mencari korelasi data antar artefak atau konteks lain.
Analisis artefak dibagi menjadi 4 macam:
a.       Analisis morfologi: mengindentifikasi pegangan terhadap bentuk dan ukuran
b.      Analisi tekonologi: mengidentifikasi teknik pembuatan artefak berdasarkan bahan baku, pengolahan bahan, teknik pengerjaan samapi dihasilkan termasuk teknik menghias
c.       Analisi stalistik        : mengidentifikasi aspek dekoratif, seperti: warna, hiasan, ragam hias.
d.      Analisi jejak pakai  : mengkhususkan pada pengamatan terhadap hal-hal yang menunjukkan sisa penggunaan atau bekas pemakaian.

4.      Tahap Pelaporan dan Publikasi

Pelaporan hasil penelitian adalah bentuk pertanggungjawaban morak dan akademis terhadap penelitian yang dilakukan. Selain itu, publikasi hasil penelitian bertujuan untuk mengsosialisasikan hasil-hasil penelitian dengan sasaran masyarakat ilmiah dan masyarakat umum.
Publikasi dapat dilakukan dalam beberapa cara, antara lain:
a.       Buku.
b.      Pameran, usaha untuk memasyarakatkan arkeologi dikalangan masyarakat umum.
c.       Visual, publikasi dapat dilakukan dalam bentuk visualisasi berupa foto-foto arkeologi serta bentuk audiovisual dalam bentuk film.