Pengaruh
Islam terhadap Sastra Klasik Nusantara
Oleh:
Dodi Chandra, mahasiswa Arkeologi UI
Masuknya Islam
ke Indonesia merupakan proses akulturasi penduduk pribumi dengan para pedagang
yang membawa ajaran Islam. Islam yang diterima oleh masyarakat tidak hanya
dalam konteks agama saja, namun unsur
pendukung yang dibawa oleh para pedagang seperti: bahasa Arab dengan aksaranya,
kesusteraan serta adat-istiadat tanah asalnya. Pada abad 14 dan 15 M, ketika
penyebaran agama Islam sedang berlangsung, bahasa pendukung budaya Islam di
Nusantara adalah bahasa Melayu. Sehingga, tidak heran bahasa Melayu menjadi lingua franca di Nusantara. Kita dapat
lihat pada saat awal aksara Arab sudah
diadopsi oleh bahasa Melayu dan mungungguli huruf abjad India. Di
seluruh kepulauan Nusantara, kata dan ungkapan Melayu yang ada kaitannya dengan keislaman diterima
ke dalam bahasa pribumi.
Bahasa lain yang
juga memiliki sastra klasik yang luas tentang agama Islam adalah bahasa Jawa.
Pada awal penyebarannya, ajaran ditransfer secara lisan dan kemudian ditulis
dalam dalam aksara Jawa Kuno. Saat ini, bagi
ulama pengetahuan tulisan dan bahasa Arab merupakan suatu hal yang mutlak
diperlukan dalam penyebaran agama Islam. Sehingga, lambat-laun aksara Jawa Kuno tersisih oleh
aksara Arab sebagai wahana bahasa Jawa bagi teks-teks keagamaan dan juga dalam
bahasa pribumi.
Pada Islam masuk
ke Nusantara, bahasa-bahasa yang ada di Nusantara sudah memiliki kemapanan
dalam budaya tulis. Pada sastra Melayu dapat kita lihat seperti teks Melayu yang berasal dari abad ke-16
seperti: Hikayat Sri Rama, Sang Boma,
dan cerita-cerita Panji. Ini merupakan bukti bahwa materi sastra tertulis sudah
mencapai taraf yang tinggi. Sedangkan, pada sastra Jawa masih dapat dilihat
dari sastra Jawa pra-Islamnya yang masih terpelihara oleh keberadaan Bali yang
sampai saat ini masih mempertahankan agama Hindu.
Sudah dikemukakan
sebelumnya bahwa ketika masyarakat menerima agama Islam seluruh kompleks kebudayaannya
turut pula berakulturasi dengan budaya pribumi. Pertemuan dua kebudaayan akan
menghasilkan berbagai perubahan dan melahirkan unsur-unsur baru dalam
kesusteraan, bahasa serta perilaku sosial. Apabila kita lihat tulisan yang
sampai pada kita saat ini, dapat dilihat adanya dua kelompok yang dipengaruhi
Islam yaitu sastra yang mengemukakan ajaran-ajaran agaman dan yang secara tidak
langsung berkaitan dengan Islam. Naskah-naskah yang berisi ajaran Islam ada
bermacam-macam. Naskah yang tertua ialah adalah tulisan buda atau gunung yang
berisi informasi tentang bentuk agama Islam yang dianut masyarakat pada awal
agama Islam di Indonesia. Dalam bahasa Melayu kita memiliki tulisan-tulisan
seperti: Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, dan lain-lain yang berisi ajaran fiqih,
tauhid, tasawuf, tanya jawab, puisi atau prosa.
Bahasa Arab menjadi
bahasa wajib dipelajari ketika seseorang mempelajari agama Islam. Ajaran Islam
yang terdapat di Al-Qur’an dan Hadist menuntut seseorang untuk belajari dan
memahami bahasa Arab. Karangan berbahasa
Arab oleh pribumi merupakan bagian khazanah naskah yang diwariskan kepada kita.
Karya terjemahan Al-Qur’an bahasa Melayu yang pertama dibuat oleh Abdul Rauf
pada abad ke-17. Selain itu, karya Al-Ghazali pun diterjamahkan oleh Abdal
Samad pada abad ke-18.
Selain karya
berbahasa Arab, pribumi juga menghasilkan karya mengenai ajaran Islam dalam
bahasa daerah. Pada masa konsolidasi Islam, mulai ditanamkan nilai-nilai Islam
melaui tulisan-tulisan yang kemudian dapat dipahami oleh khalayak ramai. Salah
satu contoh karya dalam bahasa daerah itu adalah sekolompok sastra Jawa yang
disebut dengan suluk. Suluk merupakan puisi keagamaan yang
khusus mengungkapkan pemikiran agama dengan metode mistisme, kadang berbentuk tanya-jawab dan juga naratif. Sastra didaktik merupakan bagian penting dari
budaya tradisional Indonesia. Karya-karya yang memberikan pentunjuk tentang
cara hidup yang diajarkan oleh Islam. Selain itu, secara tidak langsung juga
mengajarkan nilai-nilai yang dihargai dalam Islam. Ini terjadi pada masa awal
penduduk pribumi yang masih dekat dengan agama lama, namun mereka ingin
mengikuti pola dari agama yang baru diterima. Dalam kondisi ini, tokoh-tokoh
teladan sangat diperlukan untuk memenuhi harapan mereka yang masih labil,
seperti: Amir Hamzah, Muhammad Hanafiyah, Samaun, dan Hasan Husain yang menjadi
tokoh teladan dalam rangka mempertahankan dan menyebarkan Islam, kesetiaan dan
bakti terhadap nabi Muhammad S.AW.
Pada zaman
Islam, di dalam sastra Jawa muncul cerita-cerita kepahlawanan yang dibumbui
dengan dialog keagamaan Islam yang cenderung mistik, seperti Hikayat Sultan Ibrahim Ibnu Adham yang
meninggalkan kerajaannya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Jenis ini sedikit
menyimpang dari wiracarita gaya lama yang selalu terpusat pada kerajaan.
Menurut para pakar, jenis ini dimungkinkan karena asas demokrasi dalam Islam
yang memberikan kebebasan kepada pengarang tanpa adanya intervensi dari
kungkungan monarki dan adat sosial lama.
Saat ini,
terdapat suatu kelompok cerita keagamaan tentang Nabi Muhammad yang sampai saat
ini masih bertahan, antara lain Hikayat
Nabi Bercukur (Melayu) atau Nabi
Paras (Jawa), Nabi Mikrad, dan
Maulud Nabi.
Penjelasan di
atas memberikan gambaran pengaruh Islam yang merasuki kehidupan sastra,
meskipun bentuk dan isi yang lama tetap bertahan, asalkan tidak bertentangan
dengan ajaran agama Islam. Salah satu unsur pengaruh yang perlu dikemukakan di
sini adalah aksara. Peninggalan naskah Islam Melayu bertuliskan Arab tidak
terdapat lagi, namun naskah Melayu yang masih ada dan tertua berasal dari abad
ke-16 yang ditulis dalam aksara Arab. Apapun aksara yang sebelumnya dipakai,
secara sempurna digantikan oleh aksara Arab yang telah diadaptasikan dengan
baik pada sistem bunyi Melayu. Dengan menyebarnya bahasa Melayu ke sebahagian besar
Nusantara seperti: Ternate, Tidore, Sumbawa, Bima,dan Ambon , berimplikasi pula
pada penyebaran aksara Arab di
Nusantara.
Keadaan dalam
sastra Jawa sedikit berbeda. Tulisan Arab telah masuk pada saat yang dini, tapi
penggunaan aksara Jawa-India tetap masih digunakan sampai abad ke-20. Keadaan
ini berdampak pada lontar beraksara Arab yang dapat diakatan tidak ada. Pada
umumnya penggunaan aksara Jawa-Arab dan Jawa-India terbagi menurut pokok teks
yang ditulis. Pertama untuk teks keagamaan dan kedua untuk teks sekuler. Perlu
diingat disini bahwa penggunaan abjad atau aksara Arab tidak terbatas pada
kedua bahasa di atas, namun meluas ke
bahasa daerah yang lain, misalnya bahasa Aceh, Minang, Sunda, Madura, dll
dimana ada kelompok budaya yang memeluk Islam.
Dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa Islam dapat memberikan sebuah jalan dalam pengembangan
sastra di Nusatara. Sehingga dengan menyebarnya Islam, berimplikasi pula pada
kemajuan sastra di Nusantara.