Rock
Painting di Indonesia: sebuah gambaran umum
Oleh: Dodi Chandra, Mahasiswa
Arkeologi FIB UI
Manusia
prasejarah tidak hanya meninggalkan sisa-sisa kegiataanya yang berbentuk
artefak saja tapi juga meninggalkan karya seni lukis yang diterakan pada
dinding gua tempat huniannya. Dalam masa prasejarah kehidupan manusia sudah
menunjukkan kreasi manusia dalam menghadapi tantangan alam serta lingkungannya.
Dengan kemampuannya dalam beradaptasi tersebut mereka berhasil menaklukan
lingkungan serta mampu memanfaatkan sumber daya alam yang terkandung di
dalamnya untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, antara lain dengan cara
berburu.
Hasrat dan keinginan manusia untuk
mengekspresikan keindahan, muncul ketika manusia mulai hidup semi menetap di
dalam gua-gua. Seni Cadas atau lukisan
gua itu dibuat ketika kehidupan manusia sudah menetap, karena ketika manusia
prasejarah masih nomaden (berpindah-pindah tempat) keselamatan relatif tidak
terjamin, sehingga lukisan tidak ditemukan.
Ekspresi keindahan tersebut, dituangkan oleh manusia prasejarah dalam bentuk seni lukis yang diterapkan pada dinding gua, dinding
batu atau karang. Media yang digunakan
oleh manusia prasejarah untuk melukis adalah media-media yang mudah dan tanpa
melakukan usaha lagi untuk mendapatkannya. Maka media lukis tersebut kebanyakan
adalah dinding gua atau karang. Karena selain sebagai tempat tinggal, pada masa
prasejarah dinding-dinding gua digunakan sebagai media untuk mengekspresikan
pengalaman, perjuangan dan harapan hidup manusia dalam bentuk lukisan gua
Persebaran
lukisan gua ini tersebar diseluruh Indonesia dan umumnya terdapat di gua-gua
tropis. Karena pada masa berburu dan meramu gua-gua tropis adalah tempat yang
nyaman bagi manusia purba dan juga didukung dengan ketersediaan bahan makanan
di daerah tropis yang cukup. Pada awalnya kebanyakan dari penemuan lukisan gua
tersebut terdapat di daerah Indonesia
Timur seperti: Iriannya, pulau Seram, pulau Kei, Sulawesi, Flores. Namun, sekarang lukisan juga terdapat diderah
Kalimantan timur. penemuan tersebut berupa gambar-gambar telapak tangan, figure
manusia dan binatang. Ini mungkin terjadinya difusi seni lukisan gua dari
daerah timur ke daerah barat Indonesia tapi itu semua harus dibuktikan dan
perlu penulurusan lebih lanjut agar dapat membuktikan itu semua. Tidak hanya di
wilayah Indoensia lukisan gua bisa berkembang
namun, ternyata juga berkembang
pula di luar Indonesia seperti; di Eropa misalnya di Italia, Sepanyol, Perancis
dan di Afrika. Di wilayah Asia misalnya terdapat di India, Thailand dll, serta
di Australia. Lukisan yang terdapat di beberapa negara tersebut diperkirakan
sebagai hasil kebudayaan masyarakat yang hidup berburu dan mengumpulkan makanan
pada tingkat sederhana hingga tingkat lanjut. Keberadaan Seni Cadas di luar
Indonesia menandakan bahwa kebudayaan yang berkembang di Indonesia tidak jauh
berbeda dengan kebudayaan yang berkembang di belahan dunia lain.
Seni
cadas atau lukisan gua (rock art)
adalah suatu gambar, motif dan desain yang dibuat pada permukaan batuan alamiah
yang tidak bergerak, seperti permukaan tebing, dinding goa dan bongkahan batu
besar. Defenisi yang lebih luas lagi
mengenai rock art itu sendiri adalah
lukisan yang dibuat dengan cara: melukis dan menggambar (pictographs), seperti lukisan (paintings),
gambar (drawings), dan cetakan (stencilings). Selanjutnya dengan cara
menggores atau menoreh (petroglyps),
seperti lukisan (engravings), goresan
(incisings), dan cungkilan (gougings).
Sebagai
peninggalan masa prasejarah memiliki arti dan nilai yaitu: berfungsi sebagai bentuk karya seni, ushaha untuk
mengekspresikan keindahan alam, simbol, lambang-lambang visual, pengalaman,
perjuangan, harapan hidup, dan mungkin juga sebagai bahasa yang hendak
dikomunikasikan kepada generasinya, khususnya komunitas mereka yang mengggunakan
gua sebagai tempat hunian pada masa lampau.
Lukisan gua secara umum dibuat
dengan warna merah, hitam, putih, cokelat. Objek yang banyak dilukis antara
lain berupa: cap-cap tangan, babi rusa,
binatang melata, perahu,kuda, ikan, dsb.
Objek-objek yang banyak dilukis tersebut secara umum adalah hal-hal yang
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari manusia prasejarah pada saat itu.
Termasuk pula di dalamnya fenomena alam seperti: awan, hujan, halilintar serta
benda langit berbentuk matahari, bulan, dan bintang. Ini semua adalah bentuk
aktualisasi manusia prasejarah terhadap apa yang ia lihat, rasakan dan ia
lakukan. Karena dari penemuan artefak-artefak manusia purba banyak para ahli
berpendapat bahwa manusia purba dengan adaptasi terhadap alam menyebabkan ia
dapat memanfaatkan semua yang ada dilingkunganya. Bahkan, dengan banyaknya dan
dominannya penemuan lukisan yang bermotif hewan, sehingga ada seorang ahli seni
cadas yang layak menyebutnya sebagai seni hewan “animal art”.
Meskipun ada istilah aminal art , rupanya tidak semua jenis
hewan menjadi objek seni lukis, melainkan hanya beberapa saja yang dikenalnya
sehari-hari atau hanya jenis-jenis yang sering diburunya saja seperti: kuda,
babi, rusa. Ada juga beberapa jenis hewan lainnya yang mereka gambar namun
tidak makan atau jarang dimakan, termasuk hewan melata dan serangga yaitu:
beruang, singa, harimau, ular, lipan. Jenis-jenis makhluk yang digambarkan
ini mungkin hanya merupakan tanda
peringatan kepada masyarakat setempat, bahwa hewan tersebut sangat berbahaya
bagi manusia dan harus dihindari atau dibinasakan.
Hasil seni prasejarah baik yang
berupa seni lukis, relief, atau seni patung tidak hanya semata-mata unutk
mengekspresikan keindahan atau perjuangan saja tetapi memiliki pula nilai-nilai
magis- religius (Sumiati AS 1984). Oleh karena itu, gaya karya seni prasejarah
ditentukan oleh faktor-faktor yang mendukung penampilannya. Faktor itu antara
lain adalah kepercayaan. Bertolak dari anggapan itu, maka hasil seni tersebut
diatas dalam pengambarannya kurang memperhatikan ketepatan anatomi serta
proporsinya, unsur yang diutamakan adalah simbolisnya, sehingga hasil seni
prasejarah dalam pengambaran objek lebih menonjolkan arti simbolisnya, dari
pada ketepatan anatomi dan proporsinya contoh pengambaran motif manusia.
Motif manusia sering pula
digambarkan antropomorfis dengan gaya kangkang atau motif manusia dengan kepala
besar atau dengan genetalianya yang menonjol. Lukisan yang bersifat
anthropomorfis atau perlambangan fisik manusia semata-mata dan secara umum
dihubungkan dengan aspek magis. Bahkan sering pula manusia digambarkan dengan
hanya diwakili oleh bagian-bagian tertentu dari tubuh manusia. Bagian- bagian
tubuh manusia tersebut juga tidak sembarang, bagian yang dipilih adalah
bagian-bagian yang memilki kekuatan magis lebih banyak bila dibandingkan dengan
bagian tubuh yang lain. Yang mana bagian tersebut adalah mata dan muka. Namun,
makna yang terkandung pada lukisan gua,
tergantung pada cara kita menempatkan objek dan juga tergantung pada lukisannya..
Seperti contoh gambar cap tangan yang
berwarna merah yang diletakkan di bagian yang tinggi, dalam dan sulit
dijangkau, merupakan cap tangan nenek-moyang yang pertama kali datang ke gua
tersebut. Sedangkan warna merah tersebut dilambangkan sebagai warna darah
sebagai elemen kehidupan yang diyakini dapat menghidupkan kembali para arwah
nenek-moyangnya di alam baka. Namun, tampaknya tidak cukup cap tangan saja tapi
juga bagian-bagian tubuh manusia lainnya seperti cap kaki, mata, wajah dalam
bentuk kedok atau topeng serta genital wanita, termasuk wujud manusia itu
sendiri, dianngap memilki kekuatan magis. Motif wujud manusia itu sendir banyak
ditemukan di gua Pulau Muna (Sulawesi Tenggara), yang tampil dengan peran
manusia pemburu, prajurit, nelayanm peladang, dan penari bahkan ada dalam
bentuk “manusia burung” yang dicirikan dengan cakar pada tangan dan kakinya.
Motif penari ini juga terdapat gua Kobori, masyarakat berpendapat motif
tersebut memilki kekuatan magis. Demikian pula motif genital wanita yang hanya
dijumpai di gua Wa Bose yang diperkirakan memiliki kekuatan magis (kesuburan).
Motif hewan banyak dijumpai
dengan motif babi,rusa dan kuda. Namun,
diantara motif hewan juga ada yang dianggap mempunyai kekuatan magis, misalnya
apabila pada tubuh terdapat suatu yang unik seperti gambar mata panah, mata
tombak atau semacam luka, maka ini semua memberikan gambaran tentang adanya
keyakinan terhadap unsur-unsur yang bersifat magis. Motif tersebut adalah
seperti yang terdapat di gua Pattakere I yang mengambarkan seekor babi sedang
melompat, dan pada bagian jantungnya tertera mata panah. Para ahli berpendapat
bahwa lukisan tersebut mencerminkan adanya unsur magis dalam lukisan itu lebih
tepatnya (kontak-magis) yang bermakna agar hasil buruannya bertambah banyak.
Motif yang serupa juga ditemukan di gua Sakapao (Sulsesl), yang memilki motif
cap tangan dengan bagian lengan bawahnya dan babi. Babi disini memiliki 2
keunikan yaitunya adanya goresan pada tubuh seekor babi yang menyerupai bekas
luka yang kemudian dikaitkan dengan unsur religius (kesuburan). Motif lainya
dari lukisan gua dapat kita temui di gua Lompoa yang memilki motif matahari,
ikan perahu, dan bentuk geometrik, sedangkan yang unik adalah di gua Kassi yang
memiliki motif kapak, mata bajak, dan ular. Motif yang lain adalah motif cap
kaki yang satu-satunya ditemukan di gua Sumpang (Sulsesl), motif ini lali
diindaksikan dengan upacara ketika anak mulai mampu berjalan untuk pertama
kalinya.
Lukisan adegan berburu yang
termasuk”spektakuler” terdapat di gua Metanduno, menampilkan seorang pemburu
sedang menancapkan tombaknya kepunggung seekor rusa, sementara 2 ekor anjing
mangikutinya dari belakang. Lukisan ini memberikan kesan bahwa adanya unsur
sosial-ekonomis, yaitu kegiatan berburu sendiri, dalam upaya membunuh rusa
sebagai salah satu bahan pangannya.
Seni cadas juga menampilakn
motif flora atau tumbuhan hanya terdapat di gua Toko, pulau Muna. Motif flora
tersebut adalah kelapa dan jagung. Para ahli menidentifikasi bahwa kelapa dan
jagung merupakan 2 jenis tanaman pangan
yang mulai dibudidayakan pada masa bercocok tanam dan ini menandakan juga bahwa
masyarakat sudah mengenal system pengolahan tanah sebagai lahan pertaniannya,
baik kebun atau ladang.
Lukisan yang tergolong unik juga
terdapat di gua Wabose, Pulau Muna yang menampilkan motif genital atau kelamin
wanita dengan tekhnik garis sederhana yang secara proporsional yang tidak
menunjukan sosok manusia seutuhnya. Hal ini juga disimpulkan bahwa ada
kaitannya dengan makna religis-magis yang mengandung kesuburan.
Kesederhanaan lukisan dapat kita
temui pada seni cadas yang terdapat Maluku dan Papua Barat. Lukisan ini lebih
dipengaruhi oleh unsur-unsur religi-magis daripada unsur sosial-ekonomi.
Seperti contoh lukisan di Pulau Kei, Maluku yang pada umumnya hanya dibuat
garis luar saja (outline figure).
Gaya ini mirip dengan lukisan yang terdapat di Pulau Seram, Papua Barat dan
Timor Leste. Lukisannya memperlihatkan motif manusia dengan posisi jongkok,
menari, berburu, berperang, memegang perisai, ada pula motif burung, perahu,
matahri, bantuk geomterik yang memperlihatkan unsur religis-magis. Dan dapat
disimpulkan pula bahwa luksian gua yang terdapat dalam gua Pulau Seram dan
Kepulauan Kei yang menggambarkan tentang rites
magic. Pembuatan lukisan ini menunjukan bahwa manusia pada masa itu
berusaha untuk menujukan tingkat kecerdasan kemampuan mereka dalam melaksanakan
kepercayaannya. Semua yang digambarkan
dalam lukisan gua pada masa prasejarah merupakan sebuah bentuk refleksi dari
kehidupan yang di jalani pada masanya.
Jadi, lukisan gua (rock art) merupakan sebuah perwakilan kata-kata manusia
pada masa itu yang ingin disampaikan kepada segenap masyarakatnya dan akhirnya
menjadi bukti bagi manusia sekarang untuk mempelajarinya sekaligus merupakan inspirasi
bagi seniman-seniman lukis untuk membuat sebuah karya lukisan dalam bentuk dan
bahan yang berbeda. Lukisan yang terdapat pada dinding gua-gua yang ada ini
bukan sekedar lukisan, karena lukisan itu diselimuti oleh suasana sakral dan
religius. Melalui lukisan seseorang dapat berkomunikasi dengan kekuatan yang
lebih tinggi (supranatural). Sehingga apa yang diharapkan dapat dikabulkan.
Lukisan cap tangan juga bukan hanya sekedar lukisan, tetapi merupakan simbol
belangsungkawa dan perjalanan dalam “dunia lain”. Ini artinya bahwa
lukisan-lukisan yang terdapat pada dinding gua-gua memiliki nilai religius dan
sosial-ekonomi.
Daftar
Pustaka
1. Poesponegro, Marwati Djoened. (2008). Sejarah Nasional Indonesia I
"Zaman Prasejarah di Indonesia".
Jakarta: Balai Pustaka
2.
Permana, Cecep Eka. 2008. Kuliah Umum Lukisan Prasejarah. Depok.
(dalam format pdf)
3. Whitley, David. S. 2005. Introduction to: Rock Art Research.
California: Left Coast Press, inc
4. Sumiarti AS. 1984. “Lukisan Manusia di Pulau Lomblen (Tambahan
Data Hasil Seni Bercorak Prsejarah), Flores Timur”. Berkala Arkeologi V. Yogyakarta:
Balai Arkeologi Jakarta
5. Nasrudduin. 2004. Kalpataru (Majalah Arkeologi) “Temuan Tanda Tangan dan Potensi Situs
Gua-gua Hunian di Kawasan Pergunungan Marang, Kalimantan Timur”.). Kalpataru
(Majalah Arkeologi Jakarta:
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Bidang Sejarah Dan Purbakala,
Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional
6. Prasetyo,Bagyo, D.P Bintarti, dkk. 2004.
Religi pada masyarakat Prasejarah di Indonesia.
Jakarta: Kemenbudpar, Proyek Penelitian dan Pengembangan Arkeologi
No comments:
Post a Comment