Sekilas Tentang Jam Gadang
Bukittinggi
Oleh: Dodi Chandra
Nama Jam Gadang mungkin tak asing bagi orang Minangkabau pada umumnya.
Yah, warisan kolonial Belanda ini sudah menjadi kebanggaan dan tour obeject baik bagi masyarakat Sumatera Barat dan juga
turis Manca Negara. Jam Gadang secara kolektif sudah terdaftar di BP3
Batusangkar sebagai Cagar Budaya. Cagar Budaya menurut Undang-undang no. 11
tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah warisan budaya yang bersifat kebendaan
berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan
Kawasan Cagar Budaya di darat dan atau di air yang perlu dilestarikan
keberadaanya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama dan atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Keletakan situs Jam Gadang secara administratif berada di jalan Istana
Kelurahan Bukit Cangang, Kecamatan Guguk Panjang, Kota Bukittinggi. Jam Gadang
pertama kali dibangun pada tahun 1926 dengan seorang arsitek kelahiran
Bukittingi yang bernama Yazid Sutan Gigi Ameh. Jam yang merupakan hadiah Ratu
Belanda kepada Controleur
Oud Agam (sekretaris kota), HR Rookmaker, ini dibangun di “bukit
tertinggi” (Bukik Nan
Tatinggi) dan menghadap ke arah Gunung Merapi. Jam Besar ini
didatangkan dari Rotterdam, Belanda, melalui Teluk Bayur (1926). Jam Gadang
sebenarnya adalah buatan German yang dapat dilihat dari label kertas yang
tertempel dilemari pengaman komponen jam yang berbunyi: “Abs. B. Vortmann, Turmuhrenfabrik I. W. Germany”. Mesin Jam Gadang
hanya ada dua di dunia, satu di lagi tak lain adalah BigBen di London.
Arstiketural Bangunan Jam Gadang sangat kental dengan arsitektural
Belanda. Terlihat dari bentuk tiang-tiang tebal khas gaya Doric, bentuk jendela
dan tangga, dan pola hias bangunannnya. Disisi lain, bentuk klokkentoren,
menara jam, demikian Jam Gadang yang disebut dalam literatur Belanda, berbentuk
empat persegi dengan jam di masing-masing sisi puncak. Puncak Jam Gadang
mengalami tiga kali perubahan. Semula puncak Jam Gadang dibuat setengah
lingkaran seperti kubah masjid. Di atasnya dipasang patung ayam jago, menghadap
arah timur, yang sedang berkokok. Sengaja dibikin demikian untuk menyindir
masyarakat Agam Tuo yang kesiangan, demikian ditulis Zulqayyim dalam buku “Kota
Lama KotaBaru: Sejarah Kota-kota di Indonesia”. Di zaman Jepang, puncak Jam
Gadang berubah lagi. Sesuai selera Jepang. Maka Jam Gadang di zaman Jepang
berbentuk atap bertingkat menyerupai Pagoda. Di masa kemerdekaan, atap itu
diganti dengan gonjong rumah adat Minangkabau.
Foto: Transformasi Atap Jam Gadang (sumber: indonesiapariwisata.blogspot.com) |
Di masa awal, di sisi kanan dari taman Jam Gadang ini (berhadapan dengan
Jam Gadang sisi depan) terdapat Patung Hermes di atas semacam tiang/tonggak dan
juga patung harimau. Namun sudah tak terlacak lagi ke mana kedua patung itu dan
kapan mereka hilang
Pada masa pemerintahan Belanda,toren atau menara berfungsi sebagai pos
pengitaian musuh. Begitu juga dengan Jam Gadang sekrang, di zaman Belanda, menara Jam Gadang dibangun
untuk mengintai gerak-gerik pengikut Imam Bonjol semasa Perang Paderi.
Jika kita melihat angka di Jam Gadang, mungkin terbesit di dalam pikiran
kenapa angka empat pada sistem penomoran Romawi harusnya ditulis IV namun pada
Jam Gadang, angka empat ditulis IIII?. Beberapa sumber menyebutkan, penomoran
itu dimungkinkan karena si pembuat tak terlalu paham dengan sistem angka Romawi
atau memang sengaja dibikin demikian agar tak membingungkan jika angka-angka
itu menghadap ke luar, bukan menghadap ke arah jam (arah dalam). Kesalahan
angka pada jam tidak hanya terjadi pada Jam Gadang, kesahalan tulis seperti itu
sering terjadi di belahan dunia manapun, seperti angka 9 yang ditulis VIIII
(harusnya IX) atau angka 28 yang ditulis XXIIX (seharusnya XXVIII).
Saat ini, Jam Gadang masih tetap beroperasi. Dentingnya masih bisa didengar setiap jam. Bahkan kini, dari puncaknya juga akan selalu terdengar suara pengawas mengingatkan warga agar tak membuang sampah sembarangan. Bulan puasa, denting jam ini juga berfungsi sebagai penanda imsak dan berbuka puasa.
Saat ini, Jam Gadang masih tetap beroperasi. Dentingnya masih bisa didengar setiap jam. Bahkan kini, dari puncaknya juga akan selalu terdengar suara pengawas mengingatkan warga agar tak membuang sampah sembarangan. Bulan puasa, denting jam ini juga berfungsi sebagai penanda imsak dan berbuka puasa.
Prinsip pengelolaan sebuah Cagar Budaya pada Jam Gadang sebagai Dead Monument sudah dapat dikatakan
berjalan dengan baik walaupun ada sedikit hal yang perlu diperbaiki. Fasilitas-fasilitas yang ada di kawasan Jam
Gadang sudah memadai. Terlihat pada tempat sampah yang mudah sekali ditemukan
di taman sekitar Jam Gadang sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi
pengunjung. Selain itu, fasilitas toilet , pos keamanan, pusat informasi, photografer
keliling, tempat pakir yang sudah terkelola dengan baik dan yang unik adalah
tersedianya jasa “Bendi” yang dapat mengantarkan kita keliling kawasan Jam Gadang.
Sejak pertama Jam Gadang didirikan pada tahun 1926 lingkungan sekitar
juga dihidupkan dan dikelola dengan
menambahkan fasilitas penunjang guna mendorong agar kawasan Jam Gadang dapat
memberikan efek positif terhadap roda perekonomian masyarakat Bukittinggi pada
khususnya. Fasilitas penunjang itu antara lain: terminal bus, bangunan kantor
Asisten Residen Afdeeling Padangsche Bovenlanden – kini jadi kompleks Istana
Negara Bung Hatta. Di sisi barat, pom bensin, kantor polisi, dan kantor Controleur Oud Agam.
Tempat perhentian bendi atau dokar pun disiapkan. Kemudian tak jauh dari
perhentian bendi terdapat Loih
Galuang serta beberapa loods
(los), orang Minangkabau menyebut loih.
Di akhir tulisan saya ini dapat disimpulkan bahwa Jam Gadang adalah Cagar Budaya (Dead Monument) yang merupakan warisan dari pemerintahan Belanda. Terlepas dari warisan pemeritahan Belanda, yang terpenting bagi kita adalah sama menjaga kelestarian dan keterawatan cagar budaya ini serta bersama-sama mendorong generasi muda agar jalan lupa dengan sejarah daerahnya sendiri.
Di akhir tulisan saya ini dapat disimpulkan bahwa Jam Gadang adalah Cagar Budaya (Dead Monument) yang merupakan warisan dari pemerintahan Belanda. Terlepas dari warisan pemeritahan Belanda, yang terpenting bagi kita adalah sama menjaga kelestarian dan keterawatan cagar budaya ini serta bersama-sama mendorong generasi muda agar jalan lupa dengan sejarah daerahnya sendiri.