Friday, 3 May 2013

Mesjid Rao-Rao


Mesjid Rao-Rao Batusangkar
Oleh: Dodi Chandra



Foto: Mesjid Rao-Rao (sumber: bjn.wikipedia.org)

Kebudayaan adalah suatu hal yang universal. Dalam sebuah kebudayaan terdapat beberapa unsur yang membentuk kebudayaan, diantaranya: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kesenian. Begitu juga dengan kebudayaan Islam, memiliki unsur pembentuk yang sama karena unsur kebudayaan di atas bersifat universal atau menyeluruh. Namun, disini kita lebih fokus pada kesenian, yaitu seni bangunan.                      
Seni bangunan Islam yang sangat menonjol adalah mesjid. Mesjid-mesjid kuno di Indonesia memiliki ciri khas corak yang sangat berbeda dengan negara lain. Kekhasan corak ini mungkin disebabkan faktor keuniversalan yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadist yang tidak memiliki ketentuan yang jelas dalam membangun mesjid. Namun, ketentuan yang ada hanyalah arah mesjid harus mengahadap kiblat.                                                                               Mesjid secara bahasa berasal dari bahasa Arab “sajada” yang berarti tempat sujud atau dengan kata lain tempat orang sholat menurut aturan Islam. Ajaran Islam pada dasarnya tidak menentukan kriteria-kriteria khusus dalam pendirian mesjid. Mesjid-mesjid kuno di Indonesia mempunyai  ciri-ciri, yaitu berdenah segiempat, mempunyai atap bertingkat, ditunjang oleh 4 buah tiang, mempunyai mihrab serta mimbar. Pada beberapa mesjid lain di Indonesia terdapat juga tambahan berupa serambi, tempat iman, kolam tempat wudhu, tempat sholat wanita (pawestren), menara serta jam matahari untuk menentukan waktu sholat.                                                                       Pada mesjid-mesjid kuno di pusat kota  biasanya terdapat maksura yaitu tempat sholat penguasa atau raja. Selain tempat sholat, mesjid juga berfungsi sebagai tempay pendidikan agama dan aktivitas lain seperti pernikahan, urusan peradilan dan perayaan hari besar agama Islam serta kegiatan yang bernafaskan Islam.
Minangkabau merupakan wilayah yang memiliki kekuatan dari agama Islam yang dianut oleh masyrakatnya. Bahkan, dalam filosofi hidup orang Minangkabau, sering kita kenal sebutan“ Adat Ba-sandi Syara’ dan Syara’ Basandi Kitabullah (adat bersendi pada Agama, Agama bersendi pada Al-quran). Apa yang harus dianut dalam adat, harus sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Semangat seperti itulah yang terkandung dalam masyarakat Rao-Rao masa dulu. Semua itu terwujud dalam bangunan Masjid Raya Rao-Rao yang hingga kini kokoh berdiri dengan ciri khas menara masjid yang bergonjong, perpaduan antara rumah gadang (rumah adat Minang) dan gonjong seperti menara Masjid Masjidil Haram.                                                                 
Mesjid Rao-Rao adalah salah satu mesjid kuno di Sumatera Barat. Mesjid Rao-Rao berada dipinggir jalan Raya Batusangkar-Bukittinggi, Kec. Sungai Tarab, Kab, Tanah Datar. Mesjid ini dibangun pada tahun 1908. Pembangunan mesjid ini dahulunya dipelopori oleh Abdurrahman Datuk Marajo Indo, seorang tokoh adata sekaligus tokoh agaman yang disegani semasa pemerintahan Belanda di Batusangkar.                                                                                Mesjid Rao-Rao adalah benda cagar budaya (BCB) yang menurut UU No. 12 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, harus kita dilindungi dan dilestarikan. Sebagai mesjid kuno, mesjid ini memiliki ciri-ciri khas sebagaimana mesjid kuno di Indonesia, diantaranya: denahnya bujur sangkar, atap mesjid tumpang 3, memiliki serambi disamping mesjid, dibagian depan terdapat kolam tempat berwudhu dan di sekitar mesjid diberi pagar tembok dengan 1 gerbang.
Menurut cerita para tetua di Rao-Rao, sejak awal berdiri seabad lalu lantai masjid Rao-Rao tersusun dari keramik berkualitas tinggi. Tak tanggung-tang-gung, semua itu dipesan langsung dari negeri Tirai Bambu, China. Selain halus dan mengkilat walau dipakai sampai 50 lebih. Berhubung Rao-Rao nagari di pegu-nungan yang tak bisa diakses dari laut, dan angkutan darat seperti truk tidak tersedia, keramik itu harus dibongkar dari Pelabuhan Teluk Bayur Padang. Lalu dibawa dengan kereta api, dan kemudian digotong dengan kuda berjalan pelan dari Bukit Tinggi ke Rao-Rao.                                        
Mesjid Rao-Rao memiliki arsitektur yang sangat unik. Arsitektur mesjid ini adalah akulturasi arsitektur Eropa (Belanda), arsitektur vernakular (lokal) dan aristektur Hindu-Budha. Akulturasi arksitektur mesjid ini terjadi karena masa pembangunan yang masih kental dengan nuansa kolonial, sisa-sisa kepercayaan pra-Islam dan  sikap orang Minangkabau yang selalu terbuka dengan kebudayaan dari luar. Sehingga, terbentuklah sebuah mesjid dengan gabungan tiga  arsitektur.                                           
Komponen arsitektur Eropa terlihat pada dinding dan tiang-tiang yang tebal, bentuk pintu dan jendela gaya Eropa. Artiktektur vernakular terlihat pada kemuuncak atap mesjid yang berbentuk gonjong rumah gadang. Sedangkan arsitektur Hindu-Budha terlihat pada bentuk atap mesjid yang berbentuk atap tumpang 3. Atap tumpang adalah bentuk bangunan pra-Islam yang disebut meru, yang mulai dikenal para relief candi di Jawa Timur seperti candi Sarawana, Panataran, Kedaton, dll.
Mesjid Rao-Rao adalah warisan nenek moyang yang begitu indah dan megah. Karena itu, sebagai penerus hendaknya kita dapat menjaga dan melestarikannya agar keindahan mesjid Rao-Rao ini tidak hanya dinikmati saat ini saja, namun dapat pula berlanjut kepada generasi kita selanjutnya.






No comments: